Senin, 12 Maret 2012

Pengertian, Dasar Hukum, dan Hikmah Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S.Dzariat :49).
“dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.


Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal perkawinan ini.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang masalah perkawinan menurut fiqh islam, kompilasi hukum islam, dan undang – undang perkawinan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian perkawinan ?
2.      Bagaimana dasar hukum perkawinan?
3.      Apa hikmah perkawinan ?
4.      Bagaimana perbandingan antara fiqh, kompilasi hukum islam, dan undang – undang perkawinan ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari perkawinan.
2.      Untuk mengetahui dasar hokum perkawinan.
3.      Untuk mengetahui hikmah perkawinan.
4.     Untuk mengetahui perbandingan antara fiqh, kompilasi hukum islam, dan undang – undang perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Perkawinan
1.      Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.[1] Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.[3]
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

2.      Hukum Perkawinan
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a.    Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.    Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
c.    Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d.   Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e.    Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

3.      Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a.       Calon suami
b.      Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
1)   Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2)   Keduanya sama-sama beragama islam.
3)   Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)   Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16.
5)   Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.
c.       Wali nikah dari mempelai perempuan
Syarat – syarat wali :
1)   Telah dewasa dan berakal sehat
2)   Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
3)   Muslim
4)   Orang merdeka
5)   Tidak berada dalam pengampuan
6)   Berpikiran baik
7)   Adil
8)   Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.

d.      Dua orang saksi
Syarat – syarat saksi :
1)   Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
2)   Kedua saksi itu adalah bergama islam.
3)   Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
4)   Kedua saksi itu adalah laki – laki.
5)   Kedua saksi itu bersifat adil.
6)   Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
e.       Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Syarat – syarat akad nikah :
1)   Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2)   Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3)   Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4)   Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.

B.     Dasar Hukum Perkawinan
1.      Menurut Fiqh Munakahat
a.       Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :[4]
Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf  ayat 189 berbunyi :
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf  : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah). [5]

b.      Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).[6]

2.      Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)  UU Perkawinan yang rumusannya :[7]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.

3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[8]

C.      Hikmah Perkawinan
1.      Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
2.      Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
3.      Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4.      Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam mencukupi keluarga.
5.      Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6.      Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.[9]

D.      Analisis Perbandingan
1.      Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan melihat Pasal 2 ayat (1)  tentang landasan hukum perkawinan itu berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat tanpa melihat mazhab fiqh tertentu.

2.      KHI dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.

3.      Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan  tentang perkawinan dengan segala kemungkinannya. dan dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.









BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Salah satu hikmah perkawinan adalah bisa menghindarkan perbuatan maksiat dan melanjutkan keturunan.
Dasar hukum perkawinan menurut fiqh salah satunya yaitu disebutkan dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 dan dalil As-Sunnah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah. Perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) dan menurut KHI diatur dalam Pasal 2 dan 3.
Apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet, Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung : CV Pustaka Setia
Al-Utsaiin Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud. 1991. Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga. Surabaya : Risalah Gusti
Idris ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
             1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Syarifuddin Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan. Jakarta : Kencana
http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 Maret 2012



[1] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374
[2] Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hlm. 43
[3] Ibid, Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Hlm. 4
[4]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 35
[5] Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 3-4
[6] Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud, Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991), hlm. 29
[7] Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 50
[8] Dikuti dari  http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 maret 2012
[9] Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), Hlm.

9 komentar:

RM. Guadi Purbacaraka mengatakan...

Komplit dan terang benderang pengetahuannya

Anonim mengatakan...

Sangat bermanfaat............

Unknown mengatakan...

terimakasih atas penjelasannya

Unknown mengatakan...

terimakasih :)
ini membantu tugas saya :)

Scar's Blog mengatakan...

trims....
silahkan gabung pada member saya

Unknown mengatakan...

Terimakasih sangat membantu

Unknown mengatakan...

terima kasih saya kongsi ea

santo mengatakan...

sangat menambah wawasan thanks.....

Unknown mengatakan...

sangat membantu untk tgs saya. terimkasih. barakaallah

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates