Jumat, 23 Agustus 2013

Hubungan antara Maqasid Syariah dengan Beberapa Metode Ijtihad


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Para ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber ajaran yang asasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua sumber tersebut masih banyak hal yang bersifat global dan belum mencakup semua persoalan hukum yang senantiasa silih berganti seiring  dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman.
Sunnah, para ulama melakukan ijtihad, oleh karena itu ijtihad menjadi hal yang sangat penting sebagai upaya pemecahan persoalan hukum.  Ijtihad dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan berbagai hal guna mencapai ketetapan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu pertimbangan penting yang digunakan dalam penetapan hukum adalah mempertimbangkan maqasid al-syariah sebagai dasarnya.
Teks tidak selalu memberi jawaban yang terperinci dan konkrit atas kemaslahatan, tetapi teks menjadi standar pasti terhadapnya, dan terbuka lebar ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan selalu meluas dan terus berkesinambungan dalam menilai hal-hal baru, menyikapi perkembangan zaman.Makalah ini akan membahas hubungan maqasid al-syariah dengan ijtihad.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep maqasid al-syariah?
2.      Bagaimana inti dari maqasid al-syariah?
3.      Bagaimana peran maqasid al-syariah dalam berijtihad?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui konsep maqasid al-syariah.
2.      Untuk mengetahui inti dari maqasid al-syariah.
3.      Untuk mengetahui peran maqasid al-syariah dalam berijtihad.












BAB II
PEMBAHASAN

A.      KONSEP MAQASID AL SYARIAH
1.            MAKNA MAQASID AL SYARIAH
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. [1] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti Jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Al- Syatibi menegaskan bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Disini penulis menyimpulkan bahwa Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits. dan ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat (tersier).

2.              SYARIAH  DITETAPKAN UNTUK KEMASLAHATAN HAMBA DI DUNIA DAN DI AKHIRAT
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[2] Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد  dan مقاصد التحسينات .[3]
Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharury adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan manusia. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya kelima pokok di atas. Berbeda dengan kelompok dharury, kebutuhan dalam kelompok hajiy tidak termasuk kebutuhan yang essensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghilangkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Sedangkan kebutuhan tahsiny adalah kebutuhan yang  menunjang peningkatan martabat sesorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhan-Nya sesuai dengan kepatuhan.
Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.[4] Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.

B.       KEMASLAHATAN   INTI  DARI MAQASID AL SYARIAH
Pencarian para ahli ushul fikih terhadap “maslahat” itu, diwujudkan dalam bentuk metode berijtihad. Pada dasarnya, semua metode ijtihad bermuara pada upaya penemuan maslahat dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad Saw. Atas dasar asumsi ini, maka dapat dikatakan bahwa setiap metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih bermuara pada maqashid al-syari’at
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjamin persoalan-persoalan hukum kontemporer. Lebih dari itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat lagi diterapkan. Menurut al-Juwaini, seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-Nya.[5]
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Segala macam kasus hukum baik yang secara eksplisit diatur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan di dalam kedua sumber utama tersebut, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan maka ia (kemaslahatan) itu harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya. Kemaslahatan seperti ini biasanya disebut dengan al-maslahat al-mu’tabarat.
Berbeda halnya jika kemaslahatan itu tidak dijelaskan secara eksplisit dalam kedua sumber itu, maka peranan mujtahid sangat menentukan untuk menggali dan menemukan “maslahat” yang terkandung dalam penetapan hukum. Pencarian “maslahat” ini sangat penting dalam menemukan hukum, karena penemuan maslahat adalah merupakan penemuan jiwa daripada nash.
Kemaslahatan yang dikehendaki adalah kemaslahatan yang hakiki dan yang bersifat umum, bukan yang bersifat pribadi. Maslahat inilah yang menjadi hikmah hukum yang dicita-citakan oleh syara’ dalam membina hukum. Dengan demikian, hikmah suatu hukum syara’ adalah untuk mewujudkan maslahat dan menolak kemudharatan. Bahkan menurut Abu zahrah, sebagaimana dikutip Asrafi, bahwa tidak ada satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.
 Berbicara tentang kemaslahatan tidak bisa dilepaskan dengan maqãshid as-syar’iyyah, karena maslahat adalah merupakan inti dari pembahasan maqãshid as-syar’iyyah. Secara teoritis maqasyid al-syari’at mengetengahkan ide dasar disyariatkannya hukum Islam dengan maksud melindungi (muhafzhah) atau menjamin (taklifi) kelangsungan hak dan keseluruhan system kehidupan meliputi lima aspek yang paling asasi. K

C.      MAQASID AL SYARIAH SEBAGAI  KERANGKA TEORITIS DALAM BERIJTIHAD
Ijtihad menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran.[6] Secara istilah ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.[7] Abu Zahrah, sebagaimana dikutip Iskandar, mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan kemampuan ahli fiqih dalam mengistinbathkan hukum amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.[8]
Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan interpretasi al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari’ah didasarkan pada implikasi yang luas dari sebuah teks al-Qur’an dan as-Sunnah, yang itu berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan aturan syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum.
Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan selain keduanya mengatakan : “Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian salah maka ia mendapat satu pahala.” Hadis ini ternyata belum cukup untuk membuka pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya. Padahal hadis ini sangat menekankan pentingnya ijtihad. Ini adalah jaminan bahwa seorang mujtahid berhak untuk salah, dan kesalahan ini tidak membuatnya mendapat siksa dan hukuman. Disamping itu, ini adalah bukti akan kuatnya dorongan untuk berfikir, meneliti, dan memajukan ilmu pengetahuan. [9]
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli yang dapat saja dilahirkan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Benruk tulisan dan lisan para ulama itulah yang dikenal dengan fatwa keagamaan untuk kepentingan manusia. Kita tahu bahwa hukum Islam berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadis sebagian besar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk mujtahid maka posisi fatwa sangat memperkuat tindakan ijtihad. Sebab fatwa dihasilkan dari ijtihad para ulama, sehingga apabila tidak berijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul atau lahir fatwa keagamaan.
Ijtihad juga kadang-kadang mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, hal ini disebabkan beberapa hal antara lain :[10]
1.      Adanya perubahan kepentingan masyarakat
2.      Adanya pengaruh adat kebiasaan dan urf(kebudayaan)
3.      Faktor lingkungan, ruang dan waktu
4.      Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek).
Faktor-faktor tersebut memberikan pertanda bahawa ijtihad itu bersifat kondisional artinya situasi  dan kondisi masyarakat sangat mempengaruhi pola piker para mujjtahid itu sendiri.
Para ahli ushul fikih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang terdapat dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah yang masuk kategori zhanni al-dalalah. [11] Oleh karena itu juga hasil ijtihad bersifat zhanni, artinya bukan satu-satunya kebenaran (tidak qat’i) tetapi mengandung kemungkinan lain.
Sedangkan nash yang masuk kategori dalil sharih yang qath’iyu al-wurud (pasti kedatangannya dari syar’i) dan qath’iyu al-dalalah (pasti penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk diijtihadkan. Meskipun dalam pandangan an-Na’im, hal itu sulit dibayangkan.[12] Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasyid al-syari’at yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan harus bertitik tolak dari objek itu sendiri. Oleh karenanya bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak penalaran yang di dalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan-penerapan maqasyid al-syari’at. Kedua corak itu ialah penalaran ta’lili dan istislahi.
Corak penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran ta’lili ini mengambil bentuk qiyas dan istihsan. Adapun corak penalaran istislahi adalah upaya pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan. Corak penalaran ini tampak pada metode al-masalihu al-mursalah dan saddu az-zari’ah.
Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at.[13] Oleh karenanya pengetahuan tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya hukum Islam (maqasyid al-syari’at).










BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at. Oleh karenanya pengetahuan tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Kemaslahatan dijadikan sebagai argumen dalam penetapan hukum syariat serta menjadi prioritas dalam berijtihad. Tetapi banyak berbagai pengertian kemaslahatan diantaranya adalah kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan bermanfaat bagi mereka sangat beragam bentuk dan coraknya. Jika diringkas maka akan didapatkan lima kemaslahatan utama yaitu kemaslahatan agama (maslahah ad-din), kemaslahatan jiwa (maslahah an-nafs), kemaslahatan reproduksi dan berkeluarga (maslahah an-nasl), kemaslahatan terhadap akal (maslahah al-aql), dan kemaslahatan terhadap harta benda (maslahah al-mal).
Ketika kita yakin dan sepakat bahwa Syariat tidak memiliki tujuan lain selain kemaslahatan umat manusia, begitupula bahwa seluruh teks dan hukum-hukumnya berfungsi merealisasikan kemaslahatan dan mencegah kerusakan, maka menjadi kewajiban kita dalam berinteraksi dengan teks dan hukum-hukumnya untuk berlandaskan pada prinsip ini, yaitu memahami teks sebagai kemaslahatan, aplikasi praktisnya dalam lingkup kemaslahatan, dan kita jadikan pula teks sebagai standar kemaslahatan.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.












DAFTAR PUSTAKA

Al-Raysuni, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad antara teks, realitas, dan kemaslahatan social. Jakarta: Penerbit Erlangga
Bakri, Asfari Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi.  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Majlis Tarjih Muhammadiayah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Fata, Rohadi Abd. 1991. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Qorib, Ahmad. 1997. Ushul Fikih 2. Jakarta: PT. Nimas Multima
Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta:Raja Grafindo Persada
Yahya, Mukhyar dan Fachurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: al-Ma’arif
Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Fiqh Islamy. Damaskus: Dar al Fikr




[1] Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. II, hlm. 170.
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, hlm. 1017.
[3] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996), hlm. 71.
[4] Ibid, hal 72
[5] Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih, (Jakarta:Logos,1995), h.37
[6] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1994), hlm.126 
[7] Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (bandung:al-Ma’arif,1986), hlm.373
[8] Ibid, Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan ,………hal 126-127
[9] Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas, dan kemaslahatan social, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002, hal. 1
[10] Rohadi Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1991), 43-44
[11] Ibid, Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad ..……..hlm.16
[12] Ibid, Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar ,….. hal 373
[13] Ibid, Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syai’ah Menurut al-Syatibi, ……hlm.129 

Aul dan Radd (Hukum Kewarisan di Indonesia)



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris  harus mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum aul dan radd  menurut fiqh Islam?
2.      Bagaimana hukum aul dan radd  menurut Kompilasi Hukum Islam?
3.      Apa persamaan dan perbedaan fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengenai aul dan radd?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui hukum aul dan radd  menurut fiqh Islam.
2.      Untuk mengetahui hukum aul dan radd  menurut Kompilasi Hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengenai aul dan radd.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Aul dan Radd Menurut Fiqh Islam
1.      ‘Aul
Al-‘aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya zalim dan menyeleweng seperti dalam surat An-Nisa ayat 3 yaitu :[1]

Artinya : “…yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S. An-Nisa: 3)
Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris.
Aul adalah suatu situasi dimana fard / saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta yang dibagi.[2]
Terjadinya masalah aul apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (mislanya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan yaitu siapa yang lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.[3]
Apabila ahli waris terdiri atas dzul faraa-idh dan dzul qarabat maka harta peninggalan akan habis terbagi  pada pembagian pertama yaitu dengan cara dzul faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing dan sisanya untuk dzul qarabat. Demikian pula jika ahli waris hanya terdiri atas dzul qarabat maka harta akan habis pada pembagian pertama. Tetapi jika ahli waris hanya terdiri dari dzul faraa-idh maka ada dua kemungkinan yaitu pada pembagian pertama harta akan habis sedangkan pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta. [4]  Dalam penerima waris itu semuanya adalah dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran. Ketekoran ini berupa hasil pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini diselesaikan dengan pengurangan bagian masing-masing ahli waris tadi secara berimbang. Pengurangan secara berimbang ini disebut ‘aul.
Contoh masalah aul yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami (1/2), seorang saudara perempuan kandung (1/2) dan seorang saudara perempuan ibu (1/6) maka tidak dibenarkan penyisihannya saudara perempuan seibu dengan alasan harta warisan telah habis terbagi kepada suami dan saudara perempuan kandung. Kasus ini disebut masalah aul.[5]
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga diantaranya dapat di 'aul kan sedangkan yang empat tidak dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di aul kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24), sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di aul kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh: seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu pembagiannya: ibu mendapatkan sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3) jadi ibu mendapatkan satu bagian dan ayah mendapatkan dua bagian. Pokok masalah dalam contoh tidak dapat di aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para asbhabul furudh. [6]
Angka-angka pokok yang dapat diaul kan ialah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di aul kan sehingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di aul kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah 24 hanya dapat di aul kan kepada 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid ysng memang masyur dikalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Ø  Contoh ‘Aul Pokok Masalah Enam (6)
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah dari enam (6). Bagian suami  setengah (½) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangakan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikan menjadi 7. Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
Ø  Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Pokok masalah dua belas hanya dapat di’aul kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13) lima belas (15) atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
1.   Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan dua pertiga (2/3) berarti delapan bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.[7]
2.   Seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah 12. Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai penyempurnaan dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian. Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi lima belas (15).
3.   Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas. Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (¼) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah (2/3)-nya berarti delapan bagian dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi tujuh belas (17).
Ø  Contoh ‘aul dua puluh empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat hanya dapat di ‘aulkan menjadi angka dua puluh tujuh. Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama’ faraidh dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Dinamakan  al-mimbariyah karena perkara tersebut diajukan kepada Ali bin Abi Tholib sewaktu masih berada di atas mimbar dan langsung memutuskannya sewaktu masih di atas mimbar.
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini : pokok masalah dua puluh empat, ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memproleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak asbabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-‘aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para asbabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Contoh disertai harta warisan: seorang meninggal harta warisannya Rp. 60.000.000,- Ahli warisnya terdiri   dari : istri, ibu, dua saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing :
Penyelesaiannya :
AW
Bag
AM
HW
Penerimaan

12
Rp. 60.000.000,-

Istri.            1/4.
3
3 /12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 15.000.000,-
Ibu.             1/6.
2
2 /12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
2 Sdr.skd.   2/3.
8
8 /12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 40.000.000,-
Sdr.seibu.   1/6.
2
2 /12 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
15
Jumlah
Rp. 75.000.000,-

Hasilnya terjadi kekurangan sebesar Rp. 15.000.000,-. Apabila diselesaikan dengan cara aul, maka dapat diperoleh :
AW
Bag
AM
HW
Penerimaan

12 menjadi 15
Rp. 60.000.000,-

Istri.          1/4.
3
3 /15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 12.000.000,-
Ibu.           1/6.
2
2 /15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 8.000.000,-
2 Sdr.skd. 2/3.
8
8 /15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 32.000.000,-
Sdr.seibu. 1/6.
2
2 /15 x Rp. 60.000.000,-
Rp. 8.000.000,-
15
Jumlah
Rp. 60.000.000,-

2.      Radd
Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu :
Artinya : “Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut dan merupakan kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.[8]
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut :[9]
1.      Adanya ashhabulfurudh
2.      Tidak adanya ashabah
3.      Ada sisa harta waris
Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris ashhâbl al-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima radd, karena menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau akan menjadi „ashâbah dan berhak mengambil seluruh sisa harta warisan.
Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa harta, karena kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan nasab, melainkan hubungan sababiyah, yakni semata-mata karena sebab perkawinan yang dapat terputus karena kematian. Sejalan dengan itu Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan bukan karena hubungan rahim.[10]
Ada dua ulama berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul mal.  Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-bagian mereka.
Ahli waris yang berhak mendapat ar-radd yaitu semua ashhabulfurudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak berhak karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak menerima ar-radd hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak mungkin ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris sebagai ashhabah.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini adalah contoh penyelesaian radd. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian masing-masing :
1)   Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
AW
Bag
AM
HW
Penerimaan

6
Rp. 12.000.000,-

Anak Pr    1/4.
3
3 /6 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
Ibu.           1/6.
1
1 /6 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 2.000.000,-
4
Jumlah
Rp. 8.000.000,-
Terdapat  sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-
2)   Jika ditempuh dengan cara radd
AW
Bag
AM
HW
Penerimaan

6 menjadi 4
Rp. 12.000.000,-

Anak Pr    1/4.
3
3 /4 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 9.000.000,-
Ibu.          1/6.
1
1 /4 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 3.000.000,-
4
Jumlah
Rp. 12.000.000,-

Ar-radd mempunyai empat macam yang mempunyai cara atau hukum masing-masing yaitu :
1.      Adanya pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat diselesaikan  dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.
Semisal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
2.      Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli waris, bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah empat (4) berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah atau diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.
3.      Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.
Dalam keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka penyebut dari bagian orang yang tidak menerima radd. Sesudah dibagikan kepada orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan jumlah mereka.
Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata. Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak menerima radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah (sisa). Kemudian jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.
4.      Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.
Kaidah pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli warisnya ada suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian kedua asal masalah dibandingkan dengan salah satu dari tiga perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:

Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari tiga (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

B.       Aul dan Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam
Cara-cara ‘aul dan radd yang dikehendaki pasal 192 dan 193 tampaknya merupakan jalan keluar terbaik dalam penyelesaian terhadap dua kasus tersebut. Apakah pembilangnya yang harus dinaikkan sesuai penyebutnya (faridhah al ‘ailah), ataukah sebaliknya diturunkan (faridhah al qashirah) supaya pembilang dan penyebutnya bersesuaian (faridhah al ‘adilah).
Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam dengan memperhatikan pasal 192 bahwa ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Dan dalam pasal 193 bahwa ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd adalah semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa terkecuali, termasuk suami atau istri.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 193 bahwa :
"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawi al-furûdl menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah , maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka”.[11]
Dengan demikian dalam pembagian harta waris andaikata terjadi sisa harta setelah diambil ahli waris ash-hab al-furudl dan tidak ada ahli waris aashabah, Kompilasi Hukum Islam memberikan sisa lebih tersebut kepada semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa terkecuali termasuk dalam hal ini suami atau istri. Karena dalam masalah 'aul mereka berdua juga terkena pengurangan, maka sebagai konsekuensinya suami atau istri dalam masalah radd juga mendapat tambahan. Ini sebagai konsekuensi, apabila terjadi masalah 'aul bagian masing-masing ahli waris termasuk suami atau istri yang ahli waris sababiyah dikurangi.
Sikap tegas yang ditempuh Kompilasi Hukum Islam dalam masalah ini lebih mengedepankan kemaslahatannya, tidak lain agar dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak menimbulkan keraguan bagi pihak-pihak yang mempedomaninya. Adapun ayah dan kakek keatas, dengan memperhatikan Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam bahwa:
"Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".[12]
Dengan demikian jika kita melihat pasal di atas tentang ayah dan kakek ke atas, Kompilasi Hukum Islam juga memberi sisa lebih dalam masalah radd, karena tidak terdapat bagian sisa atau ashabah terhadap mereka berdua.

C.      Persamaan dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Aul dan Radd
Memperhatikan dari kedua pendapat diatas, adapun persamaan mengenai aul yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu  tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hâb al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.
Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.






BAB III
ANALISIS

Termasuk dalam persoalan ini, kasus radd sebagaimana ditunjuk oleh pasal 193 bab IV dengan pernyataan, “apabila  dalam pembagian harta waris di antara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”
Dari ketentuan ini dapat difahami bahwa ternyata Kompilasi Hukum Islam menerima konsep radd di dalam ketentuan kewarisannya. Dalam artian bahwa, jika terjadi satu kasus waris yang struktur kewarisannya setelah ditentukan fardh masing-masing waris kemudian hasil (jumlah) perolehan ternyata lebih kecil dari pada asal masalah pertama (ditetapkan berdasarkan memperhatikan perbandingan penyebut waris-waris yang ada), maka untuk penyelesaian akhir terhadap harta warisan dipergunakan asal masalah baru, sesuai dengan jumlah bagian para waris dalam struktur itu yakni dengan menurunkan angka penyebut sesuai dengan angka pembilangnya.
Pasal 193 merupakan pasal satu-satunya yang membahas tentang radd ini, dan dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa suami/istri pewaris tidak  tertolak menerima kelebihan sisa harta warisan (sebagaimana teori Utsman) disebabkan tidak adanya penjelasan lebih jauh tentang itu.  Dengan demikian operasional metode perhitungan radd versi KHI ini adalah sama ketika menyelesaikan masalah ‘aul (sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab faraidh). Atau dengan kata lain, tidak perlu memperhatikan ketentuan cara-cara pemecahan radd dalam hal ashhabul furudh bersama/tidak dengan salah seorang suami atau istri pewaris.
Satu hal barangkali yang perlu digarisbawahi dalam persoalan radd versi KHI ini adalah meski ayah pewaris tidak disebut-sebut sebagai kelompok ashabah (dalam pasalnya tentang kelompok ahli waris), namun dalam pasal 193 tertulis kata-kata”…tidak ada ahli waris ashabah…,” sehingga jika dihubungkan dengan faraidh, ayah termasuk salah seorang yang berkedudukan sebagai ashabah itu. Berarti kehadiran ayah dalam satu struktur kewarisan, menjadikan salah satu rukun (syarat) terjadinya sebuah kasus radd belum terpenuhi. Padahal ini bukanlah sesuatu yang diperselisihkan para fukaha.
Penyelesaian sebagaimana maksud pasal di atas tampaknya “berlebihan” jika dihubungkan dengan kenyataan praktik masyarakat yang menurut kebiasaannya harus membagi dua dulu harta peninggalan si pewaris dengan alasan “harta bersama”, untuk kemudian separonya dibagi lagi berdasarkan ketentuan hukum waris, dan jika ada sisa seperti kasus ini, suami istri mendapat tambahan lagi atas nama radd. Padahal pendapat kelompok mayoritas terkait kasus ini barangkali lebih memiliki nilai kekeluargaan jika diterapkan.”













BAB IV
PENUTUP

A.      Simpulan
Menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi kekurangan harta ketika pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan inilah yang dinamakan ‘aul.
Menurut fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika pembagian warisan dimana pembilang lebih kecil daripada penyebut maka sisa harta dibagikan ke delapan ahli waris tanpa suami, istri, ayah, dan kakek ke atas. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, sisa harta dibagikan ke semua ahli waris tanpa terkecuali.
Persamaan mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi Hukum islam yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu  tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hab al-furudl. Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shabani, Muhammmad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta : Gema Insani Press
DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum Waris Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung : Pustaka Setia, 2009
Sarmadi, A.Sukris. 1997. Trensedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana
Thalib, Sajuti. 1993. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika








[1] DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, 2002
[2] A. Sukris Sarmadi, Trensedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997, hlm. 186
[3] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm. 160
[4] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1993, hlm. 96
[5] Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 147-148
[6] Muhammmad Ali Ash-Shabani, Pembagian Waris Menurut Islam , (Jakarta : Gema Insani Press ,1995), hlm. 99
[7] Ibid, Muhammmad Ali Ash-Shabani, Pembagian Waris Menurut Islam ……. hlm.  102
[8] Ibid, Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, ….. hlm 165
[9] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 216
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 107
[11] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta:  CV.Akademika Pressindo, 2004), hlm. 160
[12] Ibid, Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia……….. hlm. 160

Template by:

Free Blog Templates