Kamis, 06 Februari 2014

Perbuatan Penyertaan (Hk. Pidana)




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung.
Di samping itu banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Sering kali terjadi perdebatan dalam menjatuhkan hukuman pada pembuat langsung maupun pada pembuat tidak langsung perbuatan pidana. Untuk menjatuhkan pidana atas suatu perkara tersebut, maka hakim harus mengetahui mana pembuat yang langsung maupun yang tidak langsung dan mendasarkan putusannya selain pada undang – undang juga mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Dalam hukum perdata pertanggungjawaban dapat dialihkan ke orang lain tetapi dalam hukum pidana tidak bisa, melainkan harus dipertanggungjawabkan masing-masing oleh pelakunya.
Untuk mengetahui lebih jelas siapa-siapa dan bagaimana pertanggungjawabannya yang harus dijatuhi hukuman ketika terjadi perbuatan penyertaan dalam hukum pidana maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang perbuatan penyertaan dalam hukum pidana.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan penyertaan ?
2.      Bagaimana penyertaan dalam KUHP Indonesia ?
3.      Bagaimana pertanggungjawaban pembantu dalam penyertaan ?
4.      Apa saja bentuk-bentuk penyertaan ?


C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari penyertaan ?
2.      Untuk mengetahui penyertaan dalam KUHP Indonesia ?
3.      Untuk mengetahui pertanggungjawaban pembantu dalam penyertaan ?
4.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyertaan ?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Istilah Penyertaan
Berbeda dengan hukum perdata dimana pertanggungjawaban dapat dialihkan kepada pihak lain, dalam hukum pidana hal demikian tidak dapat dilakukan. Masing-masing individu bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Tanggungjawab tersebut tidak dapat dialihkan kepada orang lain termasuk keluarganya sekalipun.
Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana.[1]  Dalam praktek sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.
Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana tersebut, masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lain, yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana.
Beberapa istilah penyertaan yaitu :
a.    Turut campur dalam peristiwa pidana(Tresna)
b.   Turut berbuat delik (Karni)
c.    Turut serta (Utrecht)
d.   Delneming (Belanda); Compicity (Inggris); Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (perancis).


B.       Penyertaan Menurut KUHP Indonesia
Pasal 55 KUHP menyatakan :[2]
1.      Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:
Ke-1 : mereka yang melakukan, yang meyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Ke-2 : mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
2.      Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 berbunyi :
Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari Pasal-Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa penyertaan adalah apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana atau kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu orang.
Sehubungan dengan pertanggungjawabannya, maka dikenal beberapa penanggung jawab suatu tindak pidana yang masing-masing berbeda-beda pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal itu, Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad menyatakan dalam hukum pidana penanggung jawab peristiwa pidana secara garis besar dapat diklasifikasikan atas dua bentuk yaitu : [3]
1.      Penaggung jawab penuh
2.      Penaggung jawab sebagian.
Sehubungan dengan status dan keterlibatan seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP juga menentukan sistem pemidanaannya yaitu :[4]
1.   Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai dader atau pembuat delik baik kapasitasnya sebagai pleger, doenpleger, medepleger, maupun uitlokker maka ia dapat dikenai ancaman pidana maksimum sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar. (penaggung jawab penuh)
2.   Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai medeplichtiger atau pembantu bagi para pembuat delik, maka ia hanya dapat dikenai ancaman pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar.(penanggung jawab sebagian).
Moeljatno mengatakan bahwa ajaran bahwa ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Karena sebelum seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu harus sudah melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu, di samping delik-delik biasa terdapat beberapa delik-delik seperti percobaan dan delik penyertaan yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. [5]
Penyertaan menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu pembuat dan pembantu.
1.   Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang terdiri dari :
a.       Pelaku (pleger);
Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan atau diartikan sebagai orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud. Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Menurut pasal 55 KUHP, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jadi pleger adalah orang yang memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila melalui orang-orang lain atau bawahan mereka. [6]

b.      Yang menyuruh melakukan (doenpleger);
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai hukuman dipana. Jadi si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh si penyuruh. 
Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor intellectualis), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).
Unsur-unsur pada doenpleger adalah:[7]
a)      Alat yang dipakai adalah manusia;
b)      Alat yang dipakai berbuat;
c)       Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggngjawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan, adalah:
a)      Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44);
b)      Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48);
c)      Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));
d)     Bila ia sesat (keliru) mengenai salah-satu unsur delik;
e)      Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan.
Jika yang disuruh melakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap mengacu pada pasal 45 dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.
Dalam KUHP Indonesia, justru diadakan perbedaan si penyuruh dan si pembujuk. Perbedaan ini adalah demikian bahwa dalam hal pembujukan si pelaku langsung tetap dapat dihukum, demikian juga si pembujuk. Perbedaan lain adalah bahwa si pembujuk hanya dapat dihukum apabila ia mempergunakan ikhtiar-ikhtiar yang dirinci dalam Pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.

c.       Yang turut serta (medepleger);
Medepleger adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati.
Di dalam medepleger terdapat tiga cirri penting yang membedakannya dengan bentuk penyertaan yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang atau lebih. Kedua, semua orang yang terlibat benar-benar melakukan kerja sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan, tetapi memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Ada tiga kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak yang telibat dalam pelaksanaan perbuatan pidana yaitu :
a)      Mereka memenuhi semua rumusan delik;
b)      Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
c)      Salah-satu memenuhi semua rumusan delik;

d.      Penganjur (uitlokker).
Sebagaimana dalam dalam bentuk menyuruh melakukan dalam uitlokker pun terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (actor intelectualis) dan orang yang dianjurkan (actor materialis). Bentuk penganjurannya adalah actor intelectualis menganjurkan orang lain (actor materialis) untuk melakukan perbuatan pidana. [8]
Penganjur adalah orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana, dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi anjurannya disebabkan karena terpengaruh atau tergoda oleh upaya-upaya yang dilancarkan penganjur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Berdasarkan pengertian di atas terdapat empat ciri penting uitlokker yaitu : [9]
a)      Melibatkan dua orang, dimana satu pihak bertindak sebagai actor intelectualis, yakni orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan pihak yang lainnya bertindak sebagai actor materialis yakni orang yang melaksanakan perbuatan pidana atas anjuran actor intelectualis.
b)      Actor intelectualis menggerakkan hati atau sikap actor materialis, sehingga ia benar-benar berbuat tindak pidana yakni dengan melalui upaya-upaya yaitu :
-          Memberi sesuatu atau menjanjikan akan member sesuatu.
-          Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat yang dimiliki actor intelectualis.
-          Memakai kekerasan atau paksaan tetapi tidak sampai merupakan suatu daya paksa sehingga actor materialis masih memiliki kebebasan untuk menentukan sikapnya.
-          Memakai ancaman yang bersifat menyesatkan actor materialis.
-          Memberikan kesempatan, sarana atau informasi kepada actor materialis.
c)      Terjadinya tindak pidana yang dilakukan actor materialis harus benar-benar merupakan akibat dari adanya pengaruh atau bujuk rayu actor intelectualis.
d)     Secara yuridis actor materialis adalah orang yang dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya itu.
Penganjur (uitlokker) mirip dengan menyuruh melakukan (doenpleger), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada:
Ø  Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruh melakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;
Ø  Pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Syarat penganjuran yang dapat dipidana, antara lain;
a)      Ada kesengajaan menggerakan orang lain;
b)      Menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP;
c)      Putusan kehendak pembuat meteriil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;
d)     Pembuat materiil melakukan/mencoba melkukan tindak pidana yang dianjurkan;
e)      Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan pasal 163 KUHP.

2.   Pembantu/ Medeplichtige
Pembantu adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran, informasi atau kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis;
a.       Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantunya tidak disebutkan dalam KUHP. ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:
a)  Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
b) Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta,orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan sendiri;
c)  Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP), sedangkan dalam turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
d) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
b.      Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).  
Perbedaan pada niat/kehendak, pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan oleh si penganjur.[10]

C.      Pertanggungjawaban Pembantu Dalam Penyertaan
Berbeda dengan Pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, Akan tetapi, pembantu dipidana lebih ringan daripada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan pengecualian :
a.    Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,yaitu pada kasus tindak pidana:
a)      Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4)) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan;
b)      Membantu menggelapkan uang/surat oleh penjabat(Pasal 415);
c)      Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).
b.   Pembantu dipidana lebih berat daripada pembuat, yaitu tindak pidana:
a)      Membantu menyembunyikan barang barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3));
b)      Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349).
Sedangkan dalam pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan Pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.

D.      Bentuk-Bentuk Penyertaan
Dalam bab V KUHP yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercatum dalam pasal 55 sampai dengan 60 yang pada garis besarnya berbentuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan pembantu (56 dan 59), bentuk-bentuknya diperinci sebagai berikut:
1.    Dua orang atu lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan tindak pidana,
2.    Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidana,
3.    Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana,
4.    Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat tertentu untuk melakukan tindak pidana.
5.    Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang dipraanggakan turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu.
6.     Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.
Beberapa bentuk penyertaan dalam pengertian luas tidak masuk dalam ketentuan bab V, misalnya mereka yang merencanakan kejahatan seperti dalam pasal 104-108 jo.Pasal 110 ayat 2 ke-4, sesorang yang menyembunyikan petindak (Pasal 221), pria dan wanita yang melakukan persetubuhan diketahui dari hasil kejahatan (Pasal 480). Bentuk-bentuk penyertaan tersebut adalah merupakan tindak pidana tersendiri.
Mengenai bentuk-bentuk dari penyertaan apabila ditinjau dari sudut peserta akan ditemukan variasi sebagi berikut:
1. Penyertaan yang satu dan lainnya sama-sama memenuhi unsur tindak pidana,
2. Penyertaan yang (turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa tindakannya merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya dan sebagainya (Manus ministra).
3. Penyertaan benar-banarsadar dan langsung turut serta untuk melkukan tindak pidana (Medeplegen),
4. Penyertaan melkukan tindak pidana karena adanya suatu keuntungan baginya atau ia dipermudah untuk melakukannya,
5. Ia dipandang sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran karena ia adalah pengurus dan sebaginya.
6. Penyertaan hanyalah sekedar membantu saja.
Perbuatan penyertaan pada penyertaan (Deelneming Aan Deelnemingshandelingen), misalnya :
a.       Membujuk untuk membujuk (Pasal 55 jo 55)
b.      Membujuk untuk membantu (pasal 55 jo. 56)
c.       Membantu untuk menganjurkan (Pasal 55 jo.55).
Contoh :
a)      A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau membunuh.
b)      Pada waktu B akan memasuki rumah si C dengan maksud mencuri, iya berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah. A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca  jendela sehinga B dapat masuk kerumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, A tidak dapat di pidana karena untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja.
Terdapat beberapa tindak pidana yang dalam menjalankannya selalu terlibat lebih dari seorang. Dalam hal ini, ada yang oleh pasal yang bersangkutan ditegaskan bahwa kedua orang atau lebih itu dapat dikenai hukuman pidana, ada yang tidak ada penegasan tentang hal ini.
Contoh dari golongan tindak pidana yang pertama adalah :
1.   Menyuap seorang pemilih. Baik yang menyuap maupun yang disuap dihukum menurut pasal 149 ayat 1 dan 2 KUHP.
2.   Turut serta pada suatu perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan atau pada suatu perkumpulan yang terlarang oleh undang-undang. Selanjutnya para anggota semua diancam dengan hukuman pasal 169 KUHP.
3.   Bersama-sama di muka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang (pasal 170 KUHP).
4.   Perang tanding atau duel (pasal 184 KUHP), dll.
Contoh dari golongan tindak pidana yang kedua adalah :
1.      Dengan sengaja menyembunyikan yang bersalah atau dituntut di muka pengadilan pidana tentang suatu kejahatan (pasal 221 KUHP). Kini irang yang disembunyikan dapat dihukum juga apabila dapat dikatakan membujuk si pelaku untuk melakukan tindak pidana itu.
2.      Seorang pedagang yang dalam keadaan pailit menguntungkan salah seorang dari berbagai berpiutang dari pasal 397 nomor 3 KUHP. Kini, kreditur yang diuntungkan dapat juga dihukum karena turut melakukan tindak pidana ini, dll.























BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. Penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu pembuat dan pembantu.
Pembuat terdiri dari pelaku, yang menyuruh melakukan, yang turut serta, dan penganjur. Sedangkan pembantu ada dua jenis yaitu pembantu saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan dilakukan. 
Pertanggungjawaban pembuat yaitu semuanya dipidana sama dengan pelaku, akan tetapi, pembantu dipidana lebih ringan daripada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Bentuk-bentuk penyertaan secara rinci yaitu :
a.       Dua orang atu lebih bersama-sama melakukan tindak pidana,
b.      Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan tindak pidana,
c.       Ada yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana,
d.      Ada yang menggerakkan dan digerakkan melakukan tindak pidana.
e.       Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu.
f.        Ada petindak dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad. 1989. Intisari Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
Effendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indoensia. Bandung : Refika Aditama
Kholiq, Abdul. 2002. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrfindo Persada
Prodjodikoro, Wirjono. 2011. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama
Remmelink, Ian. 2003. Hukum Pidana. Jakarta : Pustaka Utama
Soesilo. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia



[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), 117
[2] Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor : Politeia, 1991), 72.
[3] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989), 31-38
[4] Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2002), 222
[5] Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta,2002 )64
[6] Ian Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta : Pustaka Utama, 2003), 308
[7] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indoensia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), 177
[8] Ibid, Moeljatno. Asas-asas ……………………………….., 124
[9] Mahrus Ali, Dasar- Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2012), 129-130
[10] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrfindo Persada,2012), 205

Template by:

Free Blog Templates