Kamis, 06 Februari 2014

Perbuatan Pidana (Hk. Pidana)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar sesama karena manusia adalah makhluk sosial. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk egois sehingga apabila sifat itu terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak baraturan yang menyebabkan kehancuran. Oleh karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban satu antar lainnya. Sesuai dengan saran tujuan KUHP nasional “untuk mencegah penghambatan atau penghalang datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia yaitu dengan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu.
Bila kita ingin menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu supaya tidak salah dalam memilih perbuatan. Maka dalam makalah ini penulis akan membahas lebih dalam tentang perbuatan pidana.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perbuatan pidana?
2.      Apa saja unsur perbuatan pidana ?
3.      Bagaimana perumusan perbuatan pidana ?
4.      Apa saja jenis-jenis perbuatan pidana ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari perbuatan pidana?
2.      Untuk mengetahui unsur perbuatan pidana?
3.      Untuk mengetahui perumusan perbuatan pidana?
4.      Untuk mengetahui jenis-jenis perbuatan pidana?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Perbuatan Pidana
Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[1] Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian ada hubungan yang erat pula. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit pertama adanya kejadian tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai perbuatan pidana yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. [2] Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum y ang berlaku.[3]
Pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana dalam pasal 14 ayat 1 UUD sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”. Sebab peristiwa adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misal matinya orang..
Istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana yakni “tindak pidana”. Istilah ini karena tumbuhnya dari pihak kementrian kehakiman yang sering dipakai dalam perundan-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata yang tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu pula dipakai kata perbuatan. Contoh : UU no. 7 tahun 1953n tentang Pemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain).
Dalam konsep KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-perundangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam konsep juga juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran masyarakat. Setiap tindak pidan selalu dipandang melawan hukum,kecuali ada alasan pembenar.[4]  
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya. Dengan pengertian ini, maka ditolak pendapat Simons dan Van Hamel. Simons mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.[5] Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana hanya menunjukkan sifatnya perbuatan yang terlarang dengan diancam pidana.[6] Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya strafbaarfeit  dicakup pengertian perbuatan pidan dan kesalahan.

B.       Unsur-Unsur Perbuatan Pidana
 Unsur-unsur pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perbuatan yang dipisahkan dengan pertanggung jawaban pidana.  ketika dikatakan  bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal yaitu :[7]
1.    Perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2.    Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun materil.
3.    Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang.


C.      Perumusan Perbuatan Pidana
1.      Kategori Pertama
a.       Menyebutkannya secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur perbuatan pidana, seperti rumusan pasal 362 KUHP tentang pencurian.
b.      Hanya menyebutkan kualifikasinya saja, seperti pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
c.       Menyebutkan kualifikasi perbuatan sekaligus merinci hal hal yang menjadi unsur perbuatan pidana. Contoh yang disebutkan kualifikasinya terlebih dahulu baru menyebutkan unsur-unsurnya yaitu pasal 480 KUHP tentang penadahan . namun ada yang menyebutkan unsur-unsur terlebih dahulu baru menyebutkan kualifikasinya seperti pasal 285 KUHP tentang perkosaan dan pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
2.      Kategori Kedua
a.       Perumusan yang menekankan pada aspek perbuatan atau disebut dengan cara formil, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian.
b.      Perumusan yang menekankan pada akibat akhir dari kelakuan seseorang yang secara hukum merupakan perbuatan pidana, seperti pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
c.       Perunmusan dengan cara formil-materiil yaitu dengan menyebutkan cara-cara dilakukannya perbuatan dan sekaligus akibat yang timbul yang dilarang, seperti pasal 378 tentang penipuan.

D.      Jenis-jenis Perbuatan Pidana
Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana yaitu :[8]
1.      Kejahatan dan pelanggaran
Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. sekalipun tidak dirumuskan delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.
Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskan sebagai delik. perbuatan-perbutan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.
2.      Perbuatan pidana formil dan perbutan pidana materil
Perbuatan pidana formil adalah perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukanna perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya seperti yang tercantum dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian dan pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Perbuatan pidana materil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang dilarang. Jenis perbuatan ini mempersyaratkan terjadinya akibat untuk selesainya seperti dalam pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan pasal 378 KUHP tentang penipu.
3.      Delik komisi dan delik omisi
Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu perbuatan sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan pencurian, penipu, dan pembunuhan.
Delik omisi adalah delik yang brupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah misalnya tak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan seperti yang tercantum dalam pasal 522 KUHP.
4.      Perbuatan pidana kesengajaan (delik dolus) dan perbuatan pidana kealpaan (delik culpa)
Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. misalnya  perbuatan pidana pembunuhan dalam pasal 338 KUHP.
Delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur kealpaan. misalnya pasal 359 KUHP tentang kealpaan seoarang yang mengakibatkan matinya seseorang.
5.      Perbuatan pidana tunggal dan perbuatan pidana ganda
Perbuatan pidana tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. dlik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan, seperti pencurian penipu, dan pembunuhan.
Perbuatan pidana ganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apa bila dilakukukan beberapa kali perbuatan, seperti pasal 480 KUHP yang menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan, maka penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali.
6.      Perbuatan pidana yang berlangsung terus menerus dan perbuatan  perbuatan pidana yang tidak langsung terus menerus
Perbuatan pidana yang berlangsung terus menerus adalah perbuatan pidana yang memiliki ciri, bahwa perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. misalnya delik merampas kemerdekaan orang dalam pasal 333 KUHP. dalam delik ini, orang yang dirampas kemerdekaannya itu belum dilepas, maka selama pula delik itu masih berlangsung terus.
Perbuatan pidana yang tidak berlangsung terus adalah perbuatan yang memiliki ciri, bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus menerus seperti pencurian dan pembunuhan.
7.      Delik aduan dan delik biasa
Delik aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dialakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis yaitu, delik aduan absolut dan delik aduan relative. Yang pertama adalah delik yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan  untuk menuntutnya seperti pencemaran nama baik yang diatur juga dalam pasal 310 KHUP. Sedangkan yang kedua adaalah delik yang dilakukan dalam lingkunagn keluarga,  seperti pencurian dalam keluarga yang diatur dalam pasal 367 KUHP.
Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya panduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian dan penggelapan.
8.      Delik biasa dan delik yang dikualifikasi
Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang apaling sederhana, tanpa uad unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Delik yang kulifikasi adalah perbuatan  pidana dalam bentuk pokok yang tambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat, seperti dalam pasal 363 KUHP dan pasal 365 KUHP yang berupa bentuk kualifikasi dari delik pencurian dalam pasal 362 KUHP.

  











BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya. Unsur-unsur perbuatan pidana meliputi perbuatan itu berujud pada kelakuan baik aktif maupun pasif, kelakuan dan akibat harus bersifat melawan hukum,dan adanya hal-hal yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.
Perumusan perbuatan pidana ada dua kategori. Dalam kategori pertama terdapat tiga perumusan yaitu menyebutkannya secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur perbuatan pidana, hanya menyebutkan kualifikasinya saja, dan menyebutkan kualifikasi perbuatan sekaligus merinci hal hal yang menjadi unsur perbuatan pidana.  Dalam kategori kedua terdapat tiga perumusan pula yaitu menekankan pada aspek, menekankan pada akibat , dan menekankan pada perbuatan dan sekaligus akibat.
Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana yang dibedakan secara kualitatif yaitu kejahatan dan pelanggaran, perbuatan pidana formil dan perbutan pidana materil,  delik komisi dan delik omisi, perbuatan pidana kesengajaan dan perbuatan pidana kealpaan, perbuatan pidana tunggal dan perbuatan pidana ganda, perbuatan pidana yang berlangsung terus menerus dan perbuatan  perbuatan pidana yang tidak langsung terus menerus, delik aduan dan delik biasa, dan delik biasa dan delik yang dikualifikasi

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
Amzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta :Rineka Cipta
Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Poernomo, Bambang. 1976.  Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia
Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta : Aksara Baru
Sianturi. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM
Soesilo. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia



[1] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), 54
[2] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1981), 13
[3] Andi Amzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta :Rineka Cipta, 1994), 89
[4] Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Konsep KUHP Edisi 2005
[5] Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986), 205
[6] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976), 129
[7] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), 100
[8] Ibid, Mahrus Ali,…………………. 101-103

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates