BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebelum
kita mengetahui arti qadim dan hadits alangkah baiknya jika kita mengerti
dahulu apakah itu filsafat dan teologi?
Kata Filsafat padanan dari bahasa Arab Falsafah dan bahasa Inggrisnya philosophy. Kata filsafat sendiri
berasal dari bahasa Yunani Philosophia, yakni
gabungan dari kata “philos” yang
artinya cinta, dan “sophos” berarti
kebijaksanaan, dengan kata lain filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan,
kearifan atau pengetahuan (wisdom).
Secara etimologi filsafah berarti cinta kepada kebijaksanaan, kearifan atau
pengetahuan (love of wisdom).[1]
Dapat pula dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan
tentang sesuatu yang ada secara hakiki dan mendalam untuk mencari kebenaran
yang hakiki.
Dalam kamus Teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam
bahasa Yunani artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha metodis untuk
memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Dalam bahasa Latin, teologi
diartikan “ilmu yang mencari pemahaman”, maksudnya dengan menggunakan sumber
daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat, teologi selalu mencari dan
tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.[2]
Kata
“hadits” atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (suatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (suatu yang lama). Kata hadist berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.[3]
Di
kalangan para filosof Muslim dan teolog Muslim sering terjadi perbedaan tentang
Qadim dan Hadits. Menurut al-Ghazali apa yang
dianggap para filosof itu sebagai suatu kebijaksanaan (wisdom) tak lain adalah
kesesatan yang nyata. Menanggapi hal tersebut Ibnu Rusyd tampil sebagai pembela
para filosof. Ibnu Rusyd menyanggah tuduhan al-Ghazali tersebut.
Pembahasan mengenai qadim atau hadisnya kalam Ilahi
merupakan salah satu pembahasan teologi di awal terbitnya agama Islam dan juga
merupakan pembahasan teologi yang dipandang paling rumit dan selalu menjadi
pembahasan dalam sepanjang sejarah Islam. Pembahasan ini tidak hanya dibahas
oleh umat islam, tetapi juga telah dikaji sebelumnya oleh para penganut agama
Kristen.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian Qadim dan Hadits ?
2. Bagaimana pandangan Qadim dan Hadits Berdasarkan Filosof Islam ?
3. Bagaimana pandangan Qadim dan Hadits Berdasarkan Teologi Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui perbedaan qadim dan hadits.
2. Untuk
mengetahui konsep qadim dan hadits berdasarkan filosof islam.
3. Untuk
mengetahui konsep qadim dan hadits berdasarkan teolog islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qadim dan Hadits
Bagi
kaum teolog Muslim, qadim berarti
“sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab”, sedangkan bagi kaum filosof Muslim,
qadim berarti “sesuatu yang kejadiannya
dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir”.
Bagi
kaum teolog Muslim, hadits mengandung
arti “menciptakan dari tiada”, sedangkan bagi kaum filosof Muslim kata itu
berarti “mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain”. [4]
B. Konsep
Qadim dan Hadits berdasarkan Filosof Islam
1.
Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya
(sunatullah) tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari
tiada menjadi ada. Pengertian qadim menurut Al-Kindi adalah tidak berpermulaan.
Pendapat Al-Kindi tentang diciptakannya alam dari ketiadaan sejalan
dengan pandangan kaum teolog Muslim, tetapi berbeda dengan pendapat para
filosof Yunani dan bertentangan dengan pendapat kaum filosof Muslim. Untuk
membuktikan adanya Allah, Al-Kindi memajukan argumen tentang baharunya alam.
Argumen baharunya alam telah lazim dikenal di kalangan kaum teolog sebelum
Al-Kindi. Akan tetapi Al-Kindi mengemukakannya secara filosofis. Ia berangkat
dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya ?
Dengan tegas Al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena alam ini
mempunyai
permulaan akan berkesudahan. Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan
diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah. [5]
2.
Al-Farabi
Dalam membuktikannya adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mukmin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua
kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mukmin
al-wujud.
Adapun yang dimaksud dengan Wajib
al-Wujud adalah wujudnya ada dengan sendirinya. Ia adalah wujud yang
sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia
ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka
akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib al-Wujud inilah yang disebut
dengan Allah.
Sementara itu yang dimaksud dengan mukmin
al-wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Wujud ini
jika diperkirakan tidak wujud, tidak mengakibatkan kemustahilan. Mukmin al-wujud tidak akan berubah
menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan
adanya itu bukan dirinya, tetapi adalah Wajib
al-Wujud (Allah).
Penilaian De Boar ada benarnya ketika ia mengatakan istilah Wajib al-Wujud dan mukmin al-wujud Al-Farabi hanya istilah lain dari al-Qadim dan al-hadis. Mukmin al-wujud Al-Farabi adalah wujud potensial yang
pasti menjadi wujud aktual disebabkan terwujudnya yang Wajib al-Wujud. Sementara itu, istilah mukmin menurut kaum teolog Muslim tidak terdapat kaitan keniscayaan
wujudnya disebabkan adanya yang Wajib
al-Wujud (Allah).[6]
Dengan kata lain,
alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada.
Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim,
yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.
3.
Al-Razi
Falsafatnya terkenal dengan doktrin Lima
yang Kekal: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman
Absolut. Menurut Al-Razi dua dari Lima
yang Kekal itu hidup dan aktif yaitu Allah dan roh. Satu diantaranya tidak
hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak
pula pasif, yakni ruang dan masa. [7]
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam
diciptakan Allah bukan dari tidak ada, tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh
karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim,
baharu, meskipun materi asalnya qadim,
sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Jiwa
universal merupakan sumber kekal yang kedua. Ia dikuasai naluri untuk bersatu
dengan materi pertama., terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik.
Materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal. Al-Razi
mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa
adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Sementara itu
waktu adalah berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan
bintang-bintang, mentari. Waktu terbatas ini tidak kekal.[8]
4.
Al-Ghazali
Pada umumnya
para filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini qadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Menurut
Al-Gazali, tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali
dengan iradah-Nya yang qadim pada
waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
memang belum dikehendaki-Nya. Oleh karena itulah, jika Allah menetapkan
ciptaan-Nya dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lain, tidaklah mustahil
terciptanya yang baru dari yang qadim.
Wujud Allah
lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman
diciptakan tidak ada zaman. Sebenarnya pertentangan antara Al-Gazali dan
filosof Muslim tentang qadimnya alam hanya pertentangan penafsiran antara
teolog Muslim dan filosof Muslim. Filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan
dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Menurut Al-Gazali (juga teolog
Muslim lain) bahwa yang qadim hanya
Allah, sedangkan selain Allah adalah hadist
(baharu)..[9]
Bagi Al-Ghazali,
bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa
alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti
bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali,
alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan
alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya
Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit
pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut
mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim.
5.
Ibnu
Rusyd
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum
teolog Muslim, alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Sedangkan filosof
Muslim mengatakan bahwa alam ini qadim, dengan
arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik
kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa
qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah
yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain.[10]
Untuk memperkuat
argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi:
وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة
ايام وكان عرشه علىالماءليبلو
كم ايكم احسن عملا (هود:
)
Artinya: “Dan Dia-lah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum
itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik
amalnya.” (Q.S. Huud: 7)
Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti
bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu
wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan.
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa
sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama
“air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan,
maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan.
Dengan demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman
lampau atau qadim.
Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini
diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu
tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti
sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan
tak berakhir.[11]
Bukti dari Tuhan menciptakan alam
ini dari sesatu yang “ada” dapat dibuktikan melalui beberapa ayat diantaranya :
1.
Al Qur’an Surat Hud, ayat 7, yang
mengatakan secara garis besar bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada
wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan,
ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah ada air, tahta dan
masa.
2.
Al Qur’an surat Fushilat, ayat 11,
dikatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam 2 masa, menghiasi bumi dengan
gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit
yang masih merupakan uap, sehingga ditakwilkan langit tercipta dari uap.
3.
Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 30,
dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama
kemudian dipecah menjadi 2 benda yang berlainan.
4.
Al Qur’an surat Ibrahim, ayat 47 – 48,
disini menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit
dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain, dan sekaligus
membuktikan bahwa alam ini terwujud dan perwujudannya melalui proses yang terus
menerus. [12]
C.
Konsep Qadim dan Hadist berdasarkan
Teolog Islam
1.
Mazhab Hanbali
Pengikut Ahmad
bin Hanbal memandang bahwa kalam Ilahi itu berasal dari suara dan huruf yang
ada dalam zat Allah Swt dan termasuk qadim. Sampai-sampai sebagian dari mereka
meyakini secara ekstirm bahwa jilid dan pembungkus kitab al-Quran itu pun
termasuk qadim.
"Pertama
bahwa zat Allah itu qadim, dan kedua adalah bahwa kalam itu sebagai sifat
Allah, sifat bagi zat yang qadim harus juga qadim karena apabila sifat bagi zat
qadim itu adalah hadis (baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat
qadim tersebut dan perubahan pada zat Allah adalah mustahil. Oleh karena itu,
kalam Ilahi yang merupakan sifat Allah adalah qadim."
Qadhi
'Adhiduddin mengatakan secara jelas bahwa akidah Hanbali mengenai hal itu
adalah batil. Beliau menulis sebagai berikut, "kalam adalah sebuah
eksistensi gradual yang antara satu huruf dengan huruf yang lain tercipta
saling kebergantungan dan hal itu berarti hadis, kalam yang tersusun dari
peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat baru. Kalam adalah sebuah
eksistensi yang berawal dan berakhir, oleh karena itu ia bersifat baru."
2.
Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah
meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi
itu bersifat hadis dan menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan
bahwa tidak ada masalah menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.
Allamah Hilli
mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut, "Wajib al-Wujud (Allah
Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan tiga dalil: pertama,
ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah menyebabkan perubahan yang bersifat
reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib
al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi benda-materi dan
Allah bukanlah materi dan benda. Kedua, jika Allah Swt dipandang sebagai sebab
dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu pun harus azali, karena
sebabnya adalah azali, sementara anda mengatakan bahwa hadis tersebut adalah
sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah tiada dan sekarang menjadi ada), dan
jika zat sebab itu bukan zat Wajib al-Wujud maka kemestiannya adalah dia
memiliki sifat hadis dan membutuhkan kepada sesuatu yang lain, dan hal ini juga
tidak layak bagi Wajib al-Wujud. Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat
kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil sifat tersebut tidak termasuk
dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat
kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan sifat cacat dan kekurangan maka
mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.
3.
Akidah Asy’ariah
Kaum Asy’ariah
meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah. Abu
al-Hasan al-Asy'ary berkata, "Allah berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya
itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan penguasa
senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah penguasa.
Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan sesuatu
yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat Allah
itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan
menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal
ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada
wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam
dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah
selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada
zat Allah serta menjadi sifat Allah."
Oleh karena itu,
dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan
hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan
zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini
bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang bersifat
qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt.
4.
Akidah Imamiah dan Muktazilah
Imamiah dan
Muktazilah setelah menggugurkan pandangan Asy'ariah, berpendapat bahwa kalam
Ilahi itu adalah hadis dan mereka mengatakan sebagai berikut: "Kalam Ilahi
seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara yang mengindikasikan
sebuah makna khusus. Perbedaannya adalah manusia ketika hendak mengungkapkan
kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat keluarnya huruf-huruf, sementara
Allah tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu, kalam memiliki
eksistensi gradual dan sistematik yang berarti hadis. Kalam itu terdapat di
tempat lain, tetapi bukan pada zat Allah. Yang dimaksud dengan Allah sebagai
Sang Mutakallim adalah tercipta dan terlahir kalam darinya, bukan bermakna
bahwa kalam itu menyatu dan eksis pada dirinya, hal ini berbeda dengan suatu
sifat seperti mengetahui, kodrat, atau warna hitam dan putih dimana menyatu
dengan zatnya".
Dikatakan,
"Allah menciptakan dan mengadakan suara dan huruf yang memiliki makna dan
kemudian hadir dalam bentuk berita, perintah, larangan, atau pertanyaan. Oleh
karena itu, kalam Ilahi adalah salah satu dari perbuatan Allah dan hadis,
seperti mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan."
Sebagaimana telah
ketahui bahwa Muktazilah dan Imamiah meyakini bahwa kalam Ilahi itu adalah
suara dan huruf-huruf yang memiliki makna yang Allah ciptakan pada suatu
tempat, dan dengan perantaraan inilah Allah menyampaikan maksud dan tujuan-Nya.
Kalam Ilahi memiliki eksistensi gradual dan hadis dalam rentangan zaman dan
waktu, dan maksud dari Allah sebagai Mutakallim adalah Allah menciptakan suara
dan huruf-huruf. Sumber dan asal kalam Allah adalah sifat kodrat dan iradah-Nya
yang tanpa membutuhkan lidah dan mulut.
5.
Pandangan Mu'ammar bin Ubbad dan
Sebagian Ilmuwan Kristen.
Al-Quran adalah
sesuatu yang aksidental, dan mustahil Allah menciptakan dan menurunkan
al-Quran. Karena menurut mereka, mustahil sesuatu yang aksidental itu terlahir
dari perbuatan Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah terwujud dari
suatu tempat yang memancarkan kalam itu.
Dalam catatan
Rawandi dan Khayaat tertulis: "Mu’ammar meyakini bahwa al-Quran bukan
hasil perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan, akan tetapi suatu kejadian yang
hadir secara alamiah dan natural.
Pandangan
tersebut juga diyakini oleh sebagian ilmuwan kristen sebagaimana dikutip,
"Dalam naskah tercatat bahwa wahyu asli adalah Masehi itu sendiri, kalimat
Allah dalam bentuk manusia, kitab suci hanyalah kitab tulisan tangan manusia
yang menjadi saksi atas hakikat wahyu tersebut. Perbuatan Allah dalam
eksistensi masehi dan kitab suci hadir dengan perantaraan masehi, dan kitab
suci itu tidak hadir dengan cara pendiktean langsung dari Allah."
Kesimpulan dari
kajian di atas adalah al-Quran dan seluruh kitab suci samawi bukan ciptaan
Tuhan, akan tetapi hasil perbuatan para nabi dimana Allah menciptakan wujud
mereka dalam kondisi yang istimewa sedemikian sehingga mampu menyampaikan
tujuan, iradah, maksud dan penjelasan Allah Swt.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Al-Kindi bahwa
alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni
Allah.
Berbeda dengan pendapat Al-Farabi bahwa alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu
yang ada. Sedangkan Al-Razi
mengatakan bahwa dua yang hidup dan aktif yaitu Allah dan roh. Satu diantaranya
tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dan yang tidak hidup, tidak aktif, dan
tidak pula pasif, yakni ruang dan masa. Pendapat Al-Gazali bahwa alam
haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam
tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan,
dan Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang
lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam
wujudnya.
Pengikut Ahmad bin Hanbal dan Kaum
Asy’ariah memandang bahwa kalam Ilahi itu qadim berasal dari suara dan huruf yang
ada dalam zat Allah Swt dan menyatu dengan zat Allah. Sedangkan Aliran
Karamiyah dan Imamiah serta Muktazilah meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari
suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis. "Mu’ammar
meyakini bahwa al-Quran bukan hasil perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan,
akan tetapi suatu kejadian yang hadir secara alamiah dan natural.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Penyusun MKD, Tim. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press
Penyusun MKD, Tim. 2011. Studi Hadist. Surabaya : IAIN Sunan
Ampel Press
Nasution, Harun. 2010. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara
Zar, Sirajuddin. 2010. FILSAFAT
ISLAM Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada
www.alhassanain.com
http://syiahali.wordpress.com
[1] Tim Penyusun MKD, Pengantar Filsafat, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press, 2011),
hlm.2.
[2] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2011), hlm.98.
[3] Tim Penyusun MKD, Studi Hadist, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press, 2011),
hlm.1.
[4] Sirajuddin Zar, FILSAFAT
ISLAM Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta :
RajaGrafindo Persada,2010), hlm.227-228
[5] Ibid., hlm. 52-53
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
2010), hlm.12-13.
[8] Sirajuddin Zar, FILSAFAT
ISLAM Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta :PT.
RajaGrafindo Persada,2010), hlm. 117-120.
[9] Ibid., hlm. 163-167
[10] Ibid., hlm. 226
[11] Dikutip dari www.elfilany.com
[12] Dikutup dari
http://syiahali.wordpress.com
[13] Dikutip dari www.alhassanain.com
0 komentar:
Posting Komentar