HUKUM
ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN
1. Pengertian Kebudayaan
Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah
pikiran, akal budi, hasil.[1]
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kebudayaan diantaranya :
a. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatuyang turun temurun dari satu generasi ke
generasi kemudian.
b. Andreas
Eppink mengemukakan kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,
norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religious, dan segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi cirri
khas suatu masyarakat.
c. Edward
Burnett Tylor memandang kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
d. Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat
ada 3 wujud yaitu :
a) Suatu
kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb.
b) Kompleks
aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c) Benda-benda
hasilkarya manusia.
Dari uraian di atas maka dapat diambil pengertian
bahwa hukum adat sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari
sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur
sosial religious yang didapat seseorang dengan ekstensinya sebagai anggota
masyarakat.
Kebudayaan dalam wujud idiil, bertugas mengarahkan
dan mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga hukum
adat merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat dalam kebudayaan bangsa
Indonesia.
2. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan
Jika hukum adat dilihat dari segi
wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud
sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah
laku manusia dalam berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat
merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.[2]
Hukum adat merupakan hukum
tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup
yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut
berlaku.[3]
Apabila kita melakukan studi
tentang hukum adat maka kita harus berusaha memahami cara hidup dan pandangan
hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur
kejiwaan bangsa Indonesia.[4]
Maka jelas dikatakan bahwa memang
hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena
struktur kejiwaan dan cara berpikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat
itu sendiri.
Hukum
yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
tumbuh dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat, karena hukum itu adalah
merupakan salah satu aspek dari kebuadayaan suatu masyarakat. Kebudayaan adalah
usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam sekelilingnya,
karena kebudayaan setiap masyarakat mempunyai corak, sifat serta struktur yang
khas, maka hukum yang berlaku pada masing-masing masyarakat juga mempunyai
corak, sifat dan struktur masing-masing.
Proses
perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus menerus sepanjang sejarah,
mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena berbagai sebab. Hal ini
menyebabkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum mereka, sedikit
atau banyak, namun secara keseluruhan akan terlihat persamaan-persamaan pokok,
baik corak, sifat maupun strukturnya, seperti juga yang terjadi dalam perbedaan
bahasa. Hukum Adat yang mengatur masyarakat harus tetap dianut dan
dipertahankan, tidak hanya berhubungan dengan pergaulan antar sesama manusia
dan alam nyata, tetapi mencakup pula kepentingan yang bersifat batiniah dan
struktur rohaniah yang berhubungan dengan kepercayaan yang mereka anut dan
hormati.
Penyelidikan
Van Vollen Hoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah Hukum Adat
Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah-daerah hukum Republik Indonesia
yaitu terbatas pada daerah kepulauan Nusantara kita. Hukum Adat Indonesia tidak
hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga Negara
Republik Indonesia di segala penjuru
Nusantara kita, tetapi tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Philipina dan
Taiwan di sebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagskar) dan berbatas di sebelah
Timur sampai di kepulauan Paska, dianut dan dipertahankan oleh oang Indonesia
yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti ethnis. Dalam wilayah yang
sangat luas ini Hukum Adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan
penjaga tata-tertib sosial dan tata-tertib hukum di antara manusia, yang
bergaul di dalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan
segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang
dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah,
kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai sejak kecil sampai
berkubur berkalang tanah. Di mana ada masyarakat, disitu ada Hukum (Adat).
Hukum yang terdapat di dalam
masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi
cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri
dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam dan struktur alam pikiran
sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak
dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.
Von Savigny mengajarkan bahwa hukum
adat mengikuti “Volksgeist” (jiwa / semangat rakyat) dari masyarakat
tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist masing-masing masyarakat berlainan,
maka juga hukum masyarakat itu berlainan pula.
Begitu pula halnya Hukum Adat di
Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.
Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau
dibuat, apabila hukum yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang
terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan, dalam arti bertentangan dengan
kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tak boleh meninjau Hukum Adat
Indonesia terlepas dari “Volkgeist;, dari sudut alam pikiran yang khas
orang Indonesia yang terjelma dalam
Hukum Adat itu. Kita juga tak boleh lupastruktur rohaniah masyarakat
Indonesia yang bersangkutan.
Tidak semua perubahan dalam jiwa
dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental yang melahirkan suatu
jiwa dan struktur yang baru, sebab masyarakat adalah sesuatu yang kontinu
(berjalan terus/tidak berhenti). Masyarakat berubah tetapi tidak sekaligus
meninggalkan yang lama. Jadi di dalam sesuatu masyarakat terdapatlah realitas
bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur kembali yang lama serta menghasilkan
synthese dari yang lama dan yang baru, sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara
hidup dan pandangan hidup sesuatu rakyat. [5]
1.1
Cara Berpikir Masyarakat Indonesia
Menurut Prof. Soepomo dilihat dari aspek struktur kejiwaan
dan cara berpikir masyarakat Indonesia mewujudkan corak-corak atau pola
tertentu dalam hukum adat yaitu : [6]
a. Mempuyai Sifat Kebersamaan
(Communal)
Manusia
menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat,
rasa kebersamaan, meliputi segala lapangan hukum adat.
b. Mempunyai Corak Magis-Religius
Corak
Magis-Religius yang berhubungan dengan aspek kehidupan didalam masyarakat
Indonesia.
c. Sistem Hukum Adat diliputi oleh
Pikiran Penataan Serba Konkret
Misalnya
: Perhubungan perkawinan antara dua suku yang eksogam, perhubungan jual
(pemindahan) pada perjanjian tentang tanah dan sebagainya.
d. Hukum Adat mempunyai Sifat yang
Sangat Visual
Hubungan
hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dalam ikatan yang dapat
dilihat.
1.2
Sifat-sifat Umum
Hukum Adat
F.D. Holleman di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul de
commune trek in het indonesische rechtsleven (corak kegotongroyongan di dalam
kehidupan hukum indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4 sifat umum Hukum Adat
Indonesia yaitu : [7]
a. Sifat Religio-magis.
Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran
religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a) Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk
halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus.
b) Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan,
binatang, tubuh manusia dan benda- benda.
c) Kepercayaan terhadap
kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat
dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa,
tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda
yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
d) Anggapan bahwa kekuatan sakti yang
pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai
perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak
bahaya gaib;
e) Anggapan bahwa kelebihan kekuatan
sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya berbagai
macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada
dasarnya berpikir dan bertindak didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga
gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta.
b. Sifat komunal.
Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu
masyarakat yang masih hidup terpencil dan kehidupannya sehari-hari sangat
tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu
selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan lebih mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan individual.
c. Sifat Kontan.
Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata,
suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum yang
dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan demikian segela sesuatu yang
terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di luar akibat-akibat
hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau sebab akibatnya menurut
hukum.
d. Sifat Nyata
Untuk sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan akan
ditransformasikan atau diwujudkan dengan sesuatu benda, diberi tanda yang
kelihatan baik langsung (sesungguhnya) maupun hanya menyerupai obyek yang
dikehendaki.
3. Proses
Terbentuknya Hukum
3.1 Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir
Hukum adat pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh
karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum
adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih
lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai
sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka
akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.
3.2 Hukum Adat Tidak Statis
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya
sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti
hidup itu sendiri. [8]
Van Vollen Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht”
sebagai berikut :
“Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya,
hukum adat menunjukkan perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat
berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat”
3.3
Unsur-unsur dalam Hukum Adat
a.
Unsur Kenyataan
Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat
dan secara berulang-ulang serta berkesinambungan dan rakyat mentaati serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang
dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang
dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion
yuris necessitatis). [9]
3.4 Timbulnya
Hukum Adat
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para
warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan keperntingan dan
keputusan para hakim mengadili sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama, dengan kesadaran tersebut diterima
atau ditoleransi. Ajaran ini dikemukakan oleh Ter Haar yang dikenal sebagai
Teori Keputusan.
4. Sumber
Pengenal Hukum Adat
4.1 Corak
Hukum Adat
Corak
dalam hukum adat :
1. Tradisional
2. Keagamaan
3. Kebersamaan
4. Konkret dan Visual
5. Terbuka dan Sederhana
6. Dapat berubah dan menyesuaikan
7. Tidak dikodifikasi
4.2 Sistem
Hukum Adat
Sistem hukum adat pada dasarnya
bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam
pikiran masyarakat Barat. Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum
Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :
Hukum
Barat
|
Hukum
Adat
|
- Mengenal
hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku
terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
|
- Tidak
mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak ditangan hakim
|
- Mengenal
Hukum Umum dan Hukum Privat
|
- Berlainan
daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat
|
- Ada
Hakim Pidana dan Hakim Perdata
|
- Pembetulan
hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)
|
4.3 Kekuatan
Materiil Hukum Adat
Menurut Soepomo kekuatan materiil Hukum Adat bergantung pada
beberapa factor, antara lain :
1. Lebih atau kurang banyaknya
penetapan yang serupa yang memberikan stabilitas pada peraturan hukum yang
diwujudkan oleh penetapan itu.
2. Seberapa jauh keadaan sosial di
dalam masyarakat yang bersangkutan mengalami perubahan.
3. Seberapa jauh peraturan yang
diwujudkan itu selaras dengan sistem hukum adat yang berlaku.
4. Seberapa jauh peraturan itu selaras
dengan syarat-syarat kemanusiaan dan rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional.2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta
Warjiyati, Sri. 2006.Memahami Hukum Adat. Surabaya
: IAIN Surabaya
Wulansari, Dewi. 2010. Hukum Adat di Indonesia. Bandung
: PT. Refika Aditama
Soepomo.
1989. Hukum Adat. Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Soepomo.1996.
Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. (Jakarta : PT.
Pradnya Paramita
Wignjodipoero , Soerojo. 1995. Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia,(Jakarta :2008)
[2] Sri Warjiyati,Memahami Hukum
Adat,(Surabaya : IAIN Surabaya, 2006), h. 15
[3] Ibid, h.16
[4] Dewi Wulansari, Hukum Adat di
Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), h. 13
[5] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1995), h.75-76
[6]
Soepomo, Sistem Hukum di
Indonesia Sebelum Perang Dunia II. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
1996), h. 140-141
[7] Ibid, Sri Warjiyati, Memahami
Hukum………….. h. 17
[9] Ibid, Sri Warjiyati,Memahami Hukum…………………………h. 22
0 komentar:
Posting Komentar