BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada awalnya ilmu kalam lahir banyak persoalan yang
timbul dikalangan masyarakat, karena itulah muncul berbagai pendapat dan
pemikiran, sehingga terbentuk aliran-aliaran pemikiran para ulama. termasuk
aliran teologi yang untuk menyelesaikan masalah-masalah kalam tersebut.
Hal ini berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh
setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun psikologis dan terus
berkembang untuk mencari nilai-nilai kebaikan. Ilmu kalam dengan perkembangannya
menimbulkan permasalaan, kemudian berkembang menjadi beberapa aliran, hal ini
disebabkan karena perbedaan-perbedaan yang dimulai oleh para ulama kalam.
Disini kita akan
menggali lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran yang mereka
jalani, Aliran-aliran tersebut masing-masing mempunyai landasan yang dijadikan
dasar mereka dalam ber-hujjah. Baik itu Al-Qur’an maupun Hadits.
Diantara
aliran-aliran tersebut adalah aliran Salafiyah.
Ada banyak sekali ulama-ulama salaf yang tersebar di seluruh dunia, dan pada
makalah ini akan dibahas dua ulama yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu
Taimiyah. Disamping biografi dan riwayat hidup dari dua ulama di atas juga akan
dibahas tentang pemikirannya, seperti Imam Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang
ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukan al-qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah
tentang sifat-sifat allah dan lainnya.
Namun sebelum pembahasan tentang ulama-ulama salaf
beserta pemikirannya didalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian salaf
itu sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian salaf ?
2. Siapa
biografi ulama salaf dan pemikirannya?
3. Bagaimana
perkembangan salafiyah di
Indonesia ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian salaf.
2.
Untuk mengetahui biografi dan pemikiran ulama
salaf
3. Untuk
mengetahui perkembangan
salafiyah di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Salaf
Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang
telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.
Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf juga berarti
orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang
lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush
Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus
untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut
sertakan karena mengikuti mereka.
Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir
Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam
ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan
meridhoi mereka sebagai imam-imam umat.
Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang
mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf
itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi
Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.[1]
Menurut Thabawi
Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama
terdahulu. Salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para pemuka
abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang
hidup pada tiga abad pertama islam. Sedangkan menurut
As-Syahrastani, ulama salaf adalah
ulama yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang
mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam
Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf
sebagai sahabat, tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah
berkembang terutama di
bagdad pada abad ke-13.[2]
Ibrahim Madzkur
menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :
1. Mereka
lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).
2. Dalam
persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama
(furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mereka
mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula
mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka
mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya
untuk menakwilkannya.
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam
Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian
disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia
Islam secara sporadis.
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal
ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari
perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab
Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu
Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala
metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada
jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik
secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian
mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah
harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar
dari agama.[3]
B. Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya
1.
Imam Ahmad Bin Hanbali
a. Riwayat
Singkat Hidup Ibn Hanbal
Imam Hanbal nama
lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn Hanbal Hilal Addahili
As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan
meninggal pada tahun 241 H/855 M. [4]
Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah.
Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri
madzhab Hambali.
Ayahnya bernama
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin
Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah
bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan
ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin
Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan
terkemuka kaum bani Amir.
Ayahnya
meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah memberikan pendidikan
Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia belajar Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi
ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah.
Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar
bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya
bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin
Humam, dan Musa bin Thariq. Dari
guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal
dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia berpuasa dan hanya tidur
sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai seorang dermawan.
Karya beliau
sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan
karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Kitab
At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab Jawabatul Qur’an,
Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al
Faraidh.[5]
b. Pemikiran
Teori Ibn Hanbal
a)
Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal
lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat.
Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha
Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn
Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja
Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup
menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan
turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat),
dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani
dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal
bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada
Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b) Tentang
Status Al-Qur’an
Ibn
Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat
qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti
menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang
tidak diampuni oleh Allah.
Ibn
Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat
dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur
Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal.[6]
Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan
pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah
kepada Allah dan rasul-Nya.
2.
Ibn
Taimiyah
a. Riwayat
Singkat Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin
Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10
rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20
Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk
Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama
Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah,
seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah
merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan
ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara,
dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang
berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir,
faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang
filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia
juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada
kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya.
Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama
sezamannya.[7]
b.Pemikiran
Teori Ibn Taimiyah
Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah
adalah sebagai berikut :
a) Sangat
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist
b) Tidak
memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
c) Berpendapat
bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d) Di
dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan
tabi’i-tabi’in)
e) Allah
memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan
bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab
itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi
sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme)
Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi
berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau
kembali.
Berikut
ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.[8]
a) Percaya
Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang
dimaksud adalah:
1.
Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu
lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
2.
Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea,
bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
3. Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan
Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang
maknanya). Seperti keterangan yang
menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit
dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata
Allah
4. Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau
menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq
al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.
b) Percaya
sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin,
al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c) Menerima
sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak
dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak
mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai
sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
Ibn Taimiyah
tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat.
Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima
dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya. [9]
C.
Perkembangan Salafiyah
di Indonesia
Perkembangan
salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis),
atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai
gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh
pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang
menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak
menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dalam perkembangan
berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang
pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij,
Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik
lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah,
di luar kelompok Syiah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salaf
bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme
golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid,
kekerasan. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang
dibawa oleh Nabi SAW dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu
‘anhum, yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para Tabi’in
dan selanjutnya Tabi’i Tabi’in.
Imam hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf
yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan
lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan
(tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
Untuk memahami
latar belakang perkembangan, pemikiran dalam masyarakat islam, tentu salah satu
cara yang bisa
kita gunakan adalah dengan melihat materi-materi agama yang menjadi konsern
umat islam. terutama semua materi yang menjadi konsern umat islam dinyatakan
merujuk pada Al-Qur’an dan hadis.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnan
Amal Taupik, Panggabean Syamsu Rizal. 1987. Tafsir dan Kontektual
Al-Qur’an. Bandung: Miza
Husen
Muhammad, Dzahadi. 1978. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an, Jakarta : Rajawali press
Muhammad Asy Syak’ah Mustofa. 1994. Islam Tidak Bermazhab. Jakarta: Gema
Insani
Nasution Harun.
1986. Teologi Islam : Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:UI Press
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2007. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
Yusuf, Abdullah. 1993. Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat
Mutasyabihat. Bandung:Sinar Baru
http://ferdiansweblog.blogspot.com/2010
http://www.darussalaf.or.id
[1] Dikutip dari http://nuris23.wordpress.com/salafiyah-yang-dibina-oleh-dr-aminullah-el-hady/
[5] Dikutip dari
http://www.darussalaf.or.id
[6] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1986), hlm. 62.
[8] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat
Mutasyabihat. (Bandung:Sinar Baru, 1993), hlm. 58-60
0 komentar:
Posting Komentar