BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Abad pertengahan merupakan kurun waktu yang khas. Secara
singkat dikatakan bahwa dominasi agama kristen sangat menonjol. Perkembangan
alam pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama. Demikian pula filsafat,
harus diuji apakah tidak bertentangan dengan ajaran agama islam.
Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman yang
baru di tengah-tengah suatu perkumpulan bangsa yang baru, yaitu bangsa eropa
barat. Filsafat yang baru ini disebut skolastik.[1]
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat eropa (
sekitar lima abad ) belum memunculkan ahli pikir ( filosuf ), akan tetapi
setelah abad ke-6 masehi, baru muncul ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat.
Jadi, filsafat Eropa yang mengawali kelahiran filsafat barat abad pertengahan.
Filsafat barat abad pertengahan ( 476-1492 M ) juga dapat
dikatakan sebagai abad gelap. Berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat
itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi
memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
Para ahli pikir saat itu juga tidak mempunyai kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan
dengan agama ajaran gereja. Siapa pun orang yang mengemukakannya akan mendapatkan
hukuman berat. Pihak gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan
berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama ( teologi )
yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan ketat. Yang
berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja. Kendati
demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang
murtad dan kemudian diadakan pengejaran ( inkuisisi ). [2]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
sejarah filsafat pada abad pertengahan ?
2. Apakah
ciri filsafat pada abad pertengahan ?
3. Bagaimana
periode pada abad pertengahan ?
4. Bagaimanakah
perkembangan filsafat pada abad pertengahan ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah filsafat pada abad pertengahan.
2. Untuk
mengetahui ciri filsafat pada abad pertengahan.
3. Untuk
mengetahui periode pada abad pertengahan.
4. Untuk
mengetahui perkembangan filsafat pada abad pertengahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Filsafat Abad Pertengahan
Sejarah
filsafat Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad
ke-17. Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476, yakni masa berakhirnya
Kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya Kerajaan Romawi
Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul), sebagai data
awal zaman Abad Pertengahan dan tahun 1492 (penemuan benua Amerika oleh
Columbus) sebagai data akhirnya. [3]
Masa ini
diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat
Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada
Abad Pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran
filsafat Abad Pertengahan didominasi oleh agama.
Periode
abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya.
Perbedaan ini terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada
permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman
pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan.[4]
Disinilah yang menjadi persoalannya, karena agama kristen itu mengajarkan
bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan
pandangan yunani kuno mengatakan bahwa kebenaran dapat di capai oleh kemampuan
akal.[5]
B. Ciri
Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat
Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan
filsafat.[6]
Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat
Kristiani. Oleh karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat abad
pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama kristiani sebagai
basisnya.
Agama
Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah
yang merupakan kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan yunani
kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka
belum mengenal adanya wahyu.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua:[7]
1. Golongan yang menolak sama sekali
pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir
karena tidak mengakui wahyu.
2. Menerima filsafat yunani yang
mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan manusia
berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat
mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu oleh wahyu.
C. Periode-periode
pada abad pertengahan
Secara
garis besar, filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu Zaman
Patristik dan Zaman Skolastik.
a.
Zaman Patristik
Patristik berasal dari kata patres (bentuk jamak
dari pater) yang berarti bapak-bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga
Gereja dan tokoh-tokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar
intelektual kekristenan. Mereka khususnya mencurahkan perhatian pada pengembangan
teologi, tetapi dalam kegiatan tersebut mereka tak dapat menghindarkan diri
dari wilayah kefilsafatan.[8]
Masa Patristik dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan
Patristik Latin (atau Patristik Barat).
Bapak Gereja
terpenting pada masa itu antara lain Tertullianus (160-222), Justinus, Clemens
dari Alexandria (150-251), Origenes (185-254), Gregorius dari Nazianza
(330-390), Basilus Agung (330-379), Gregorius dari Nyssa (335-394), Dionysius
Areopagita, Johanes Damascenus, Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus (354-430).
Tertullianus,
Justinus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes adalah pemikir-pemikir pada
masa awal patristik. Gregorius dari Nazianza, Basilus Agung, Gregorius dari
Nyssa, Dionysius Areopagita,dan Johanes Damascenus adalah tokoh-tokoh pada masa
patristik Yunani. Sedangkan Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus adalah
pemikir-pemikir yang menandai masa keemasan patristik Latin.
Agustinus adalah
seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati kehidupan masa muda yang
hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama Kristen dan menciptakan sebuah
tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada abad pertengahan.
Agustinus
menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut
Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti bahwa ada kebenaran.
Menurut Agustinus, Allah menciptakan dunia ex nihilo (konsep yang kemudian juga
diikuti oleh Thomas Aquinos). Artinya, dalam menciptakan dunia dan isinya,
Allah tidak menggunakan bahan.[9]
Filsafat patristik
mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Di barat dan timur
tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang berbeda dengan
masa patristik.
b.
Zaman Skolastik
Zaman
Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah
pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat
dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari
lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel
Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo
biarawan.
Filsafat mereka disebut “Skolastik”
(dari kata Latin “scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini
filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah, biara dan universitas-universitas
menurut suatu kurikulum yang baku
dan bersifat internasional.[10]
Tokoh-tokoh terpenting
masa skolastik adalah Boethius (480-524), Johannes Scotus Eriugena (810-877),
Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142), Bonaventura
(1221-1274), Singer dari Brabant (sekitar 1240-1281/4), Albertus Agung (sekitar
1205-1280), Thomas Aquinas (1225-1274), Johannes Duns Scotus (1266-1308),
Gulielmus dari Ockham (1285-1349), dan Nicolaus Cusanus (1401-1464). [11]
Anselmus mengemukakan semboyan credo ut intelligam, yang
artinya aku percaya agar aku mengerti. Kepercayaan digunakan untuk mencari
pengertian, filsafat sebagai alat pikiran, teologi sebagai kepercayaan.
Sumbangan terpenting Anselmus yaitu suatu ajaran ketuhanan yang bersifat
filsafat. Dalam menjelaskan kedatangan dan kematian Kristus
Anselmus menjelaskan bahwa kemuliaan Tuhan telah digelapkan oleh kejatuhan
malaikat dan manusia. Hal ini merupakan penghinaan bagi Tuhan yang patut
dikenai hukuman. Untuk menyelamatkan manusia, Tuhan menjelma menjadi anakNya agar
hukuman dapat ditanggung. Dengan demikian keadilan, rahmat dan
kasih Tuhan telah genap dan dipenuhi.[12]
Peter Abelardus dianggap membuka kembali kebebasan
berpikir dengan semboyannya: intelligo ut credom (saya paham supaya saya
percaya).[13]
Pemikiran Abelardus yang bercorak nominalismei ditentang oleh gereja
karena mengritik kuasa rohani gereja. Dalam ajaran mengenai etika,
Abelardus beranggapan bahwa ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan
alam menjadikan manusia tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat
berdosa jika menyimpang dari jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai
pengukur dan penilai iman.
Bagi Thomas Aquinas, tidak ada perbedaan antara akal dan
wahyu Kebenaran iman hanya dapat dicapai melalui keyakinan dan wahyu
(dunia diciptakan Tuhan dalam 6 hari). Ada kebenaran teologis alamiah yang
dapat ditemukan pada akal dan wahyu (sebagai jalan menemukan kebenaran), tetapi
hanya ada satu kebenaran, yaitu teologi iman. Pengetahuan tidak sama dengan
kepercayaan. Pengetahuan didapat dari indra dan diolah dari akal, tetapi akal
tidak bisa mencapai realitas tertinggi. Dalil akal harus diperkuat oleh agama.
Aquinas yang pemikirannya dipengaruhi
Aristoteles, melakukan pula pengristenan teori Aristoteles dalam teologi
Kristen. Salah satu penyempurnaan teori Aristoteles oleh Aquinas yaitu
pandangan bahwa wanita adalah pria yang tidak sempurna. Pria dianggap aktif dan
kreatif, wanita dipandang pasif dan reseptif. Bagi Aqunias pria dan wanita
memiliki jiwa yang sama, hanya sebagai makhluk alamlah wanita lebih
rendah, jiwanya sama.
Aku percaya sebab mustahil”, demikian
semboyan Occam sebagai suatu gambaran terhadap hubungan tidak harmonis antara
kepercayaan dan pengetahuan. Pandangan dengan corak nominalis ini banyak
dikritik oleh gereja karena dianggap otoritas gereja. Bagi Occam, ”bukan saja
akal manusia tidak akan dapat mengerti pernyataan Tuhan, tetapi juga akal akan
menyerang segala ikrar keputusan gereja dengan hebat sebab akal manusia
sekali-kali tidak bisa memasuki dunia ketuhanan. Manusia hanya dapat
menggantungkan kepercayaan kepada kehendak Tuhan saja yang telah dinyatakan
dalam alkitab”. Dengan demikian, antara keyakinan yang bersumber terhadap agama
dan pengetahuan yang bersumber pada akal harus dipisahkan. Akibat pandangan ini
Occam dihukum penjara oleh Paus, namun mendapat suaka dari Raja Louis IV.
Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:[14]
1. Periode Skolastik awal (800-120)
Ditandai
oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan
filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia.
Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam
berbagai aliran pemikiran.
Pada
periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio
murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Problem
yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah universalia dengan
konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang
problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai
filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious
pun mendapat tempat.
2. Periode puncak perkembangan
skolastik (abad ke-13)
Periode
puncak perkembangan skolastik : dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan
ahli filsafat Arab dan yahudi. Filsafat Aristoteles
memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad Pertengahan. Aristoteles
diakui sebagai Sang Filsuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan
cakrawala berpikir semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab
dan Yahudi. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris
(1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinya.
Pada abad ke-13, dihasilkan suatu sintesis besar dari khazanah pemikiran
kristiani dan filsafat Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Yohanes Fidanza
(1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil
sintesis besar ini dinamakan summa (keseluruhan).
3. Periode Skolastik lanjut atau akhir
(abad ke-14-15)
Periode
skolastik Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang
kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak
memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu
hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas
masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan
pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan
ajaran Gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.
D. Perkembangan
Filsafat Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan ini perkembangan ilmu mencapai
kemajuan yang pesat karena adanya penerjemahan karya filsafat Yunani klasik ke
bahasa Latin, juga penerjemahan kembali karya para filsuf Yunani oleh bangsa
Arab ke bahasa Latin. Karangan para filsuf Islam menjadi sumber terpenting
penerjemahan buku, baik buku keilmuan maupun filsafat. Diantara karya filsuf
islam yang diterjemahkan antara lain astronomi (Al Khawarizmi), kedokteran
(Ibnu Sina), karya-karya Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali.
Fokus pada pengembangan ilmu melalui
sekolah menjadi perhatian dari Raja Charlemagne (Charles I) dengan pendirian
sekolah-sekolah dan perekrutan guru dari Italia, Inggris dan Irlandia. Sistem
pendidikan di sekolah dibagi menjadi tiga tingkat. Pertama, yakni pengajaran
dasar (diwajibkan bagi calon pejabat agama dan terbuka juga bagi umum). Kedua,
diajarkan tujuh ilmu bebas (liberal art) yang dibagi menjadi dua bagian;
a) gramatika, retorika, dan dialektika (trivium), b) aritmetika,
geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Tingkatan ketiga ialah
pengajaran buku-buku suci.
Masa abad pertengahan adalah masa pembentukan kebudayaan
Barat dengan ciri khas ajaran Masehi (filsafat skolastik) yang diwarnai oleh
perkembangan peradaban Kristen. Peradaban Kristen menjadi dasar bagi kebudayaan
masa modern. Peninggalan kebudayaan abad pertengahan dapat dilihat dari karya
seni musik, bangunan bercorak gothik sebagai bentuk pemujaan terhadap gereja. [15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zaman
pertengahan ialah zaman dimana Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan
adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Abad
pertengahan memiliki sebutan lain misalnya abad kegelapan, jaman skolastik atau
masa patristik, yang semuanya menggambarkan corak pemikiran filsafat dan
keilmuan yang dibentuk sesuai dengan perkembangan peradaban Kristen.
Abad ini ditandai dengan keruntuhan budaya Romawi dan
upaya untuk kembali membangun peradaban berdasarkan ajaran filsafat Yunani dan
ajaran agama Kristen. Perkembangan ilmu dan filsafat berlangsung di
gereja-gereja pada awalnya, untuk kemudian mengalami perpecahan dikarenakan
domininasi kuat agama terhadap berbagai aspek kehidupan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat berlangsung
dengan lambat tetapi pasti sejalan dengan kontak budaya dengan budaya Islam dan
semangat untuk kembali pada kejayaan peradaban Yunani. Masa ini berakhir dengan
pemisahan kekuasaan dan pemikiran antara ajaran agama yang bertahan di gereja
dan perkembangan keilmuan yang mendapat tempat di lembaga sekolah.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Pertengahan.
10 Januari 2010 Myopera.com/basyarat/blog/2001/01. Diakses
tanggal 30 September 2010
Bakry, H. 1991. Di Sekitar Filsafat Skolastik Kristen.
Jakarta: Firdaus.
Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka
Alhusna
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat. Jogjakarta : Ar Ruzz Media
Mustansyir,
Rizal. 2009. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset
Petrus,
Simon. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius
Surajiyo.
2005. Ilmu filsafat suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Penyusun MKD.2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press
http://betetsays.blogspot.com/2011
.
[3] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius:2004), hlm. 102
[4] Rizal Mustansyir, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. 9, hlm. 66
[5] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm. 157
[6] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius:2004), hlm. 102
[11]
http://elearning.gunadarma.ac.id
[13] Ali,
Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Pertengahan. 10 Januari 2010 Myopera.com/basyarat/blog/2001/01.
Diakses tanggal 30 September 2010
[14] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 157
4 komentar:
cukup menambah wawasan
izin copas gih..... mkasih......
VERY GOOD
dapat enambah wawasaan
Posting Komentar