BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ketika ada seseorang meninggal yang
disebut dengan pewaris meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli
waris harus mendapatkan harta warisan
sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Di
dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara
khusus. Masalah-masalah khusus dalam
kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya
menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta
warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini
timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam
makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu ketika pembagian harta
warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
hukum aul dan radd menurut fiqh Islam?
2.
Bagaimana
hukum aul dan radd menurut Kompilasi
Hukum Islam?
3.
Apa persamaan
dan perbedaan fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengenai aul dan radd?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui hukum aul dan radd menurut
fiqh Islam.
2. Untuk
mengetahui hukum aul dan radd menurut
Kompilasi Hukum Islam.
3. Untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam
mengenai aul dan radd.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aul
dan Radd Menurut Fiqh Islam
1. ‘Aul
Al-‘aul
dalam
bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya zalim dan menyeleweng seperti
dalam surat An-Nisa ayat 3 yaitu :[1]
Artinya : “…yang
demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S. An-Nisa:
3)
Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu
bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya
bagian para ahli waris.
Aul adalah suatu
situasi dimana fard / saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi
melebihi dari harta yang dibagi.[2]
Terjadinya
masalah aul apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut
(mislanya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya,
namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan
menimbulkan persoalan yaitu siapa yang lebih diutamakan dari para ahli waris
tersebut.[3]
Apabila ahli
waris terdiri atas dzul faraa-idh dan dzul qarabat maka harta peninggalan akan
habis terbagi pada pembagian pertama
yaitu dengan cara dzul faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing dan sisanya
untuk dzul qarabat. Demikian pula jika ahli waris hanya terdiri atas dzul
qarabat maka harta akan habis pada pembagian pertama. Tetapi jika ahli waris
hanya terdiri dari dzul faraa-idh maka ada dua kemungkinan yaitu pada pembagian
pertama harta akan habis sedangkan pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta.
[4]
Dalam penerima waris itu semuanya adalah
dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran. Ketekoran ini berupa hasil
pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini diselesaikan dengan pengurangan
bagian masing-masing ahli waris tadi secara berimbang. Pengurangan secara
berimbang ini disebut ‘aul.
Contoh masalah
aul yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami (1/2), seorang saudara
perempuan kandung (1/2) dan seorang saudara perempuan ibu (1/6) maka tidak
dibenarkan penyisihannya saudara perempuan seibu dengan alasan harta warisan
telah habis terbagi kepada suami dan saudara perempuan kandung. Kasus ini
disebut masalah aul.[5]
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga diantaranya
dapat di 'aul kan sedangkan yang
empat tidak dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di aul kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24),
sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di aul
kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh: seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu pembagiannya:
ibu mendapatkan sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam
contoh ini pokok masalahnya tiga (3) jadi ibu mendapatkan satu bagian dan ayah
mendapatkan dua bagian. Pokok masalah dalam contoh tidak dapat di aulkan, sebab
pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para asbhabul furudh. [6]
Angka-angka pokok yang dapat diaul kan ialah enam (6), dua belas (12),
dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda
dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di
aul kan sehingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10.
Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat
dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh
belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih dari itu tidak bisa. Maka
angka dua belas (12) hanya dapat di aul kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah 24 hanya dapat di aul kan
kepada 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid ysng memang masyur
dikalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Ø Contoh
‘Aul Pokok Masalah Enam (6)
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah dari
enam (6). Bagian suami setengah (½)
berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga,
sedangakan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh
kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok
masalah enam harus dinaikan menjadi 7. Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya)
cocok dengan pokok masalahnya.
Ø Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua
Belas (12)
Pokok masalah dua belas hanya dapat di’aul kan tiga kali saja, yaitu
menjadi tiga belas (13) lima belas (15) atau tujuh belas (17). Berikut ini saya
berikan contoh-contohnya:
1.
Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua
orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga,
bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang
saudara perempuan dua pertiga (2/3) berarti delapan bagian. Dalam contoh ini
tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas.
Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan
jumlah bagian yang ada.[7]
2.
Seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu,
seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan
seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalah 12. Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam
(1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan
memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai
penyempurnaan dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan
seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian. Jumlah bagian dalam contoh ini
telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok
masalahnya di aul kan menjadi lima belas (15).
3.
Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua
orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas.
Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (¼) berarti tiga bagian, sedangkan
bagian kedua nenek adalah (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah (2/3)-nya berarti
delapan bagian dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti
empat bagian. Karena itu pokok masalahnya di
aul kan menjadi tujuh belas (17).
Ø Contoh ‘aul dua puluh empat
(24)
Pokok masalah dua puluh empat
hanya dapat di ‘aulkan menjadi angka dua puluh tujuh. Selain itu, pokok masalah
ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama’ faraidh dikenal dengan masalah al-mimbariyah.
Dinamakan al-mimbariyah karena perkara tersebut diajukan kepada Ali bin Abi Tholib sewaktu masih berada di atas mimbar dan langsung
memutuskannya sewaktu masih di atas mimbar.
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan seorang istri,
ayah, ibu, anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti ini : pokok masalah dua puluh empat, ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian,
ibu memproleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan
(1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua
belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat
seperenam (1/6) berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak
jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak asbabul furudh
melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-‘aul-kan pokok
masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para asbabul
furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyah ini
pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh
tujuh.
Contoh disertai
harta warisan: seorang meninggal harta warisannya Rp. 60.000.000,- Ahli
warisnya terdiri dari
: istri, ibu, dua saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian
masing-masing :
Penyelesaiannya
:
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
12
|
Rp. 60.000.000,-
|
|||
Istri. 1/4.
|
3
|
3 /12 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
15.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
2
|
2 /12 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
10.000.000,-
|
|
2
Sdr.skd. 2/3.
|
8
|
8 /12 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
40.000.000,-
|
|
Sdr.seibu. 1/6.
|
2
|
2 /12 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
10.000.000,-
|
|
15
|
Jumlah
|
Rp.
75.000.000,-
|
Hasilnya terjadi
kekurangan sebesar Rp. 15.000.000,-. Apabila diselesaikan dengan cara aul, maka
dapat diperoleh :
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
12 menjadi 15
|
Rp. 60.000.000,-
|
|||
Istri. 1/4.
|
3
|
3 /15 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
12.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
2
|
2 /15 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
8.000.000,-
|
|
2
Sdr.skd. 2/3.
|
8
|
8 /15 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
32.000.000,-
|
|
Sdr.seibu.
1/6.
|
2
|
2 /15 x Rp.
60.000.000,-
|
Rp.
8.000.000,-
|
|
15
|
Jumlah
|
Rp.
60.000.000,-
|
2.
Radd
Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang
terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu :
Artinya : “Musa berkata:
"Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula.”
Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah
bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd apabila pembilang lebih kecil
daripada penyebut dan merupakan kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya
kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan
pembagian.[8]
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan,
kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut :[9]
1. Adanya ashhabulfurudh
2. Tidak adanya ashabah
3. Ada sisa harta waris
Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris ashhâbl al-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima radd,
karena menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah
atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau akan menjadi „ashâbah dan berhak mengambil seluruh
sisa harta warisan.
Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa harta, karena
kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan nasab, melainkan hubungan sababiyah,
yakni semata-mata karena sebab perkawinan yang dapat terputus karena kematian. Sejalan dengan
itu Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan
memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya hubungan
rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan
bukan karena hubungan rahim.[10]
Ada dua ulama
berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil
bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul
mal. Kelompok kedua yang mengatakan
bahwa harta dikembalikan kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan
presentase bagian-bagian mereka.
Ahli waris yang
berhak mendapat ar-radd yaitu semua ashhabulfurudh kecuali suami dan istri.
Suami dan istri tidak berhak karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab
tetapi karena adanya ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak menerima ar-radd hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah,
ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara
laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam pembagian hak waris
terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak mungkin ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris sebagai ashhabah.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini
adalah contoh penyelesaian radd. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya
terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian
masing-masing :
1) Jika
tidak ditempuh dengan cara radd :
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
6
|
Rp. 12.000.000,-
|
|||
Anak
Pr 1/4.
|
3
|
3 /6 x Rp.
12.000.000,-
|
Rp.
6.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
1
|
1 /6 x Rp.
12.000.000,-
|
Rp.
2.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp.
8.000.000,-
|
Terdapat sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-
2) Jika
ditempuh dengan cara radd
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
6 menjadi 4
|
Rp. 12.000.000,-
|
|||
Anak
Pr 1/4.
|
3
|
3 /4 x Rp.
12.000.000,-
|
Rp.
9.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
1
|
1 /4 x Rp.
12.000.000,-
|
Rp.
3.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp.
12.000.000,-
|
Ar-radd mempunyai
empat macam yang mempunyai cara atau hukum
masing-masing yaitu :
1. Adanya pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau
istri.
Dalam
kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung dibagikan secara merata
kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah mereka. Dengan demikian, pembagian
harta peninggalan dapat diselesaikan
dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.
Semisal,
seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya
dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah
dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu
pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan
ahli waris dari bagian yang sama.
2. Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau
istri.
Dalam
kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli waris,
bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan
seorang cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah
empat (4) berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah
yang semulanya 6 diubah atau diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.
3. Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami
atau istri.
Dalam
keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka penyebut
dari bagian orang yang tidak menerima radd. Sesudah dibagikan kepada
orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan
jumlah mereka.
Semisal, seseorang
wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat
(1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni
sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya
dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan
sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara
rata.
Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak menerima
radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah (sisa). Kemudian
jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.
4. Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya
suami atau istri.
Kaidah
pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam
susunan ahli warisnya tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam
susunan ahli warisnya ada suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri,
kemudian kedua asal masalah dibandingkan dengan salah satu dari tiga
perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun
(perbedaan).
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok
masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari tiga (yakni dari jumlah
bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian
kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok
masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu
bagian. Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara
perempuan seibu.
Dengan
melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian
nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga
tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian
bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris
tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan
masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan
cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
B.
Aul dan
Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam
Cara-cara ‘aul dan radd yang dikehendaki pasal
192 dan 193 tampaknya merupakan jalan keluar terbaik dalam penyelesaian
terhadap dua kasus tersebut. Apakah pembilangnya yang harus dinaikkan sesuai
penyebutnya (faridhah al ‘ailah), ataukah sebaliknya diturunkan (faridhah
al qashirah) supaya pembilang dan penyebutnya bersesuaian (faridhah al
‘adilah).
Adapun menurut
Kompilasi Hukum Islam dengan memperhatikan pasal 192 bahwa ketika angka
pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang. Dan dalam pasal 193 bahwa ahli waris yang berhak
mendapatkan sisa harta dalam masalah radd adalah semua ahli waris ash-hab
al-furudl tanpa terkecuali, termasuk suami atau istri.
Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan dalam Pasal 193 bahwa :
"Apabila
dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawi al-furûdl
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut,
sedangkan tidak ada ahli waris ashabah , maka pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang
sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka”.[11]
Dengan demikian
dalam pembagian harta waris andaikata terjadi sisa harta setelah diambil ahli
waris ash-hab al-furudl dan tidak ada ahli waris aashabah, Kompilasi
Hukum Islam memberikan sisa lebih tersebut kepada semua ahli waris ash-hab
al-furudl tanpa terkecuali termasuk dalam hal ini suami atau istri. Karena
dalam masalah 'aul mereka berdua juga terkena pengurangan, maka sebagai
konsekuensinya suami atau istri dalam masalah radd juga mendapat tambahan.
Ini sebagai konsekuensi, apabila terjadi masalah 'aul bagian masing-masing
ahli waris termasuk suami atau istri yang ahli waris sababiyah dikurangi.
Sikap tegas yang
ditempuh Kompilasi Hukum Islam dalam masalah ini lebih mengedepankan
kemaslahatannya, tidak lain agar dalam menyelesaikan pembagian harta waris
tidak menimbulkan keraguan bagi pihak-pihak yang mempedomaninya.
Adapun
ayah dan kakek keatas, dengan memperhatikan Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam bahwa:
"Ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak,
ayah mendapat seperenam bagian".[12]
Dengan demikian
jika kita melihat pasal di atas tentang ayah dan kakek ke atas, Kompilasi Hukum
Islam juga memberi sisa lebih dalam masalah radd, karena tidak terdapat
bagian sisa atau ashabah terhadap mereka berdua.
C.
Persamaan
dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Aul dan Radd
Memperhatikan
dari kedua pendapat diatas, adapun persamaan mengenai aul yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut,
maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan
persamaan radd yaitu tentang ahli waris
yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli
waris ash-hâb al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih
(ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.
Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam
masalah radd ada perbedaan yaitu
dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
BAB III
ANALISIS
Termasuk dalam persoalan ini, kasus radd sebagaimana ditunjuk oleh pasal 193 bab IV
dengan pernyataan, “apabila dalam
pembagian harta waris di antara para ahli waris dzawil furudh
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut,
sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing
ahli waris sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”
Dari ketentuan ini dapat difahami bahwa ternyata Kompilasi
Hukum Islam menerima konsep radd di dalam ketentuan kewarisannya. Dalam
artian bahwa, jika terjadi satu kasus waris yang struktur kewarisannya setelah
ditentukan fardh masing-masing waris kemudian hasil (jumlah) perolehan
ternyata lebih kecil dari pada asal masalah pertama (ditetapkan berdasarkan
memperhatikan perbandingan penyebut waris-waris yang ada), maka untuk
penyelesaian akhir terhadap harta warisan dipergunakan asal masalah baru,
sesuai dengan jumlah bagian para waris dalam struktur itu yakni dengan
menurunkan angka penyebut sesuai dengan angka pembilangnya.
Pasal 193 merupakan pasal satu-satunya yang membahas tentang
radd ini, dan dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa suami/istri
pewaris tidak tertolak menerima
kelebihan sisa harta warisan (sebagaimana teori Utsman) disebabkan tidak adanya
penjelasan lebih jauh tentang itu. Dengan demikian operasional metode perhitungan
radd versi KHI ini adalah sama ketika menyelesaikan masalah ‘aul
(sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam
kitab-kitab faraidh). Atau dengan kata lain, tidak perlu memperhatikan
ketentuan cara-cara pemecahan radd dalam hal ashhabul furudh
bersama/tidak dengan salah seorang suami atau istri pewaris.
Satu hal barangkali yang perlu
digarisbawahi dalam persoalan radd versi KHI ini adalah meski ayah
pewaris tidak disebut-sebut sebagai kelompok ashabah (dalam pasalnya
tentang kelompok ahli waris), namun dalam pasal 193 tertulis kata-kata”…tidak
ada ahli waris ashabah…,” sehingga jika dihubungkan dengan faraidh, ayah
termasuk salah seorang yang berkedudukan sebagai ashabah itu. Berarti
kehadiran ayah dalam satu struktur kewarisan, menjadikan salah satu rukun
(syarat) terjadinya sebuah kasus radd belum terpenuhi. Padahal ini
bukanlah sesuatu yang diperselisihkan para fukaha.
Penyelesaian sebagaimana maksud
pasal di atas tampaknya “berlebihan” jika dihubungkan dengan kenyataan praktik
masyarakat yang menurut kebiasaannya harus membagi dua dulu harta peninggalan
si pewaris dengan alasan “harta bersama”, untuk kemudian separonya dibagi lagi
berdasarkan ketentuan hukum waris, dan jika ada sisa seperti kasus ini, suami
istri mendapat tambahan lagi atas nama radd. Padahal pendapat kelompok
mayoritas terkait kasus ini barangkali lebih memiliki nilai kekeluargaan jika
diterapkan.”
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Menurut
fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi kekurangan harta ketika
pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka
angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan inilah yang
dinamakan ‘aul.
Menurut
fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika pembagian warisan dimana pembilang lebih kecil daripada
penyebut maka sisa harta dibagikan ke delapan ahli waris tanpa suami, istri,
ayah, dan kakek ke atas. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, sisa harta
dibagikan ke semua ahli waris tanpa terkecuali.
Persamaan mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi
Hukum islam yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka
angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan
radd yaitu tentang ahli waris yang
berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hab al-furudl. Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam
masalah radd ada perbedaan yaitu
dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shabani, Muhammmad
Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta : Gema
Insani Press
DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya
Lubis, Suhrawardi
K. dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum
Waris Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Nasution, Amin
Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu
Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta :
Rajawali Pers
Saebani,
Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung
: Pustaka Setia, 2009
Sarmadi,
A.Sukris. 1997. Trensedensi Keadilan
Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan
Islam. Jakarta:
Kencana
Thalib, Sajuti.
1993. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
Jakarta : Sinar Grafika
[2] A. Sukris
Sarmadi, Trensedensi Keadilan Hukum Waris
Islam Transformatif, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997, hlm. 186
[3] Suhrawardi
K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum
Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm. 160
[5] Amin
Husein Nasution, Hukum Kewarisan,: Suatu
Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta
: Rajawali Pers, 2012), hlm. 147-148
[6]
Muhammmad Ali Ash-Shabani, Pembagian
Waris Menurut Islam , (Jakarta
: Gema Insani Press ,1995), hlm. 99
[11] Abdurrahman. Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta: CV.Akademika Pressindo, 2004), hlm. 160
2 komentar:
Ad bagian yg salah, penulisan bagian anak perempuan tunggal itu 1/2 ditulis 1/4...jg bagian cucu perempuan dr anak laki_laki itu mahjub hirman bukan 1/6.
Betull ada yg salah.. yg mendapatkan 1/4 itu hanya zauj dan zaujah saja. Bintun kalo gak 1/2 ya 2/3 atau ashobah.
Posting Komentar