BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-quran adalah sumber ajaran Islam dan kitab
suci ini menempati posisi sentral. Maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-quran
melalui penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya
umat.
Makalah ini mecoba untuk menjelaskan tentang
bagaimana mendayagunakan atau
memanfaatkan harta dengan benar sesuai dengan pemahaman al-quran. Yang telah
kita pahami bahwa harta hanyalah milik Allah SWT sepenuhnya, sehingga kita
harus memanfaatkannya sesuai yang ditentukan oleh Allah SWT.
Sebagian besar dikalangan masyarakat
memanfaatkan hartanya di jalan yang tidak benar dimana telah menyimpang dari
ajaran Islam. Penyimpangan itu terjadi karena kurang pahamnya masyarakat
terhadap penafsiran ayat-ayat al-Quran. Maka dari itu makalah ini akan
menganalisis ayat-ayat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penafsiran Q.S. Al-Baqarah : 168 ?
2.
Bagaimana penafsiran Q.S. Al-Maidah :
88 ?
3.
Bagaimana penafsiran Q.S. An-Nahl : 14 ?
4.
Bagaimana penafsiran Q.S. At-Thaha :
81 ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui penafsiran Q.S. Al-Baqarah : 168.
2. Untuk
mengetahui penafsiran Q.S. Al-Maidah : 88.
3. Untuk
mengetahui penafsiran Q.S. An-Nahl : 14
4. Untuk
mengetahui penafsiran Q.S. At-Thaha : 81.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AYAT DAN TERJEMAHAN
1. Q.S. AL-BAQARAH : 168
Artinya
: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
2.
Q.S.
AL-MAIDAH : 88
Artinya
: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
3.
Q.S
AN-NAHL : 14
Artinya
: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan
itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan
supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.
4.
Q.S.
AT-THAHA : 81
Artinya
: “Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan
janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. dan
Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia”.
B.
PENAFSIRAN
- Q.S. AL-BAQARAH : 168
Ayat ini tidak memiliki asbabun nuzul, akan tetapi
memiliki munasabah atau hubungan dari ayat sebelumnya. Surat al-baqarah
termasuk golongan surat Madaniyyah.
Munasabah : dalam ayat 165 dan 167 yang lalu telah
diterangkan nasib orang yang mempersekutukan Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum dan mengharamkan apa
yang tidak diharamkan Allah, dan membuat peraturan – peraturan menurut hawa
nafsu mereka dan mengikuti langkah-langkah setan.
Tentang langkah-langkah syaitan itu, menurut riwayat
dari Ibnu Abi Halim dari tafsiran Ibnu Abbas : [1]
ﻣﺎ ﺧﺎﻠﻒ ﺍﻠﻘﺭﺍﻦ
ﻓﻬﻮ ﻤﻦ ﺧﻂﻮﺍﺖ ﺍﻠﺸﻴﻄﺎ ﻦ
“Apa sajapun yang menyalahi isi
al-Quran itu adalah langkah-langkah syaitan.”
ﺣﻼﻻ (Halalan)
terambil
dari kata halla yahillu hallan wa halalan yang berarti menjadi boleh.
Dari kata ini diperoleh pengertian “membolehkan sesuatu”. Maksud kata halalan
dalam ayat ini adalah menjelaskan kesalahan orang musyrik. Mekah yang telah
mengharamkan berbagai kenikmatan yang sebenarnya tidak diharamkan Allah. Maka
kata halalan diberi kata sifat ﻁﻴﺑﺎ (tayyiban),
artinya makanan yang dihalalkan Allah adalah makanan yang berguna bagi
tubuh, tidak merusak, tidak menjijikkan, enak, tidak kadaluarsa, dan tidak
bertentangan dengan perintah Allah, karena tidak diharamkan, sehingga kata tayyibah
menjadi alasan dihalalkannya sesuatu. [2]
Allah telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan
memakan-Nya dalam firman-Nya :[3]
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan.
Allah menyuruh manusia makan makanan yang baik yang
terdapat di bumi. Allah hanya
mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3
surat al-Maidah dan dalam ayat 173 surat al-Baqarah.
2.
Q.S.
AL-MAIDAH : 88
Surat al-maidah termasuk golongan surat Madaniyyah. Asbabun
nuzul surat al-Maidah ayat 88 yaitu Ibnu
Abbas mengatakan, bahwa kedua ayat ini (ayat 87-88) diturunkan sehubungan
dengan seorang lelaki yang suatu ketika datang kepada Rasulullah dan berkata,
“Wahai Rasulullah, jika aku makan daging, syahwatku akan meninggi terhadap
wanita. Oleh karena itu, aku mengharamkan daging atas diriku.”(HRTirmidzi). Ibnu Abbas mengatakan
bahwa kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan sepuluh orang sahabat,
diantaranya Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib, yang telah sepakat untuk
tidak berhubungan dengan istri, tidak makan daging, dan tidak makan sesuatu
kecuali sekedar penguat badan. (HR. Ibnu
Asakir)
Yang dimaksud dengan kata makan ( ﻛﻟﻮ ) dalam
ayat ini, adalah segala aktivitas manusia. Pemilihan kata makan, disamping
karena ia merupakan kebutuhan pokok manusia, juga karena makanan mendukung
aktivitas manusia. Tanpa makan, manusia lemah dan tidak dapat melakukan
aktivitas. Ayat ini memerintahkan untuk memakan yang halal lagi baik. Tidak
semua makanan yang halal otomatis baik. Karena yang dinamai halal terdiri dari
empat macam yaitu wajib, sunnah, mubah, dan makruh. [4]
Prinsip “halal dan baik” hendaknya senantiasa
menjadi perhatian dalam menentukan makanan yang akan dimakan karena makanan itu
tidak hanya berpengaruh terhadap jasmani, melainkan juga terhadap rohani. [5]
ﻜﻞ ﻠﺤﻢ ﻨﺒﺖ ﻋﻦ
ﺤﺮﺍﻢ ﻔﺎ ﻠﻨﺎﺭ ﺍﻮﻟﻰ ﺑﻪ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺘﺭﻤﺬ ﻱ)
“Setiap
daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih baik baginya.”(Riwayat
at-Tirmizi)
Tidak ada halangan bagi orang-orang mukmin yang
mampu, untuk menikmati makanan dan minuman yang enak, dan untuk mengadakan
hubungan dengan isteri, akan tetapi haruslah menaati ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan syara’, yaitu baik, halal dan menurut ukuran yang layak dan tidak
berlebihan, maka pada akhir ayat ini Allah memperingatkan orang beriman agar mereka
berhati-hati dan bertakwa kepada-Nya dalam soal makanan, minuman, dan
kenikmatan-kenikmatan lainnya. Janganlah mereka menetapkan hukum-hukum menurut
kemauan sendiri dan tidak pula berlebihan dalam menikmati apa-apa yang telah
dihalalkan-Nya.
Setiap orang beriman diperintahkan Allah SWT untuk
senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (mengandung gizi dan
vitamin yang cukup), jadi bagian ayat yang berbunyi halal dan baik mengandung
makna dua aspek yang akan melekat pada setiap rezeki makanan yang dikonsumsi
manusia. Aspek pertama, hendaklah makanan didapatkan dengan cara yang halal
yang sesuai dengan syariat Islam. Dalam hal ini mengandung mana perintah untuk
bermuamalah yang benar. Jangan dengan cara paksa, tipu, curi, atau dengan
cara-cara yang diharamkan dalam syariat Islam. Sementara dalam aspek baik atau tayyib
adalah dari sisi kandungan zat makanan yang dikonsumsi. Makanan hendaknya
mengandung zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan gizi berimbang adalah yang
dianjurkan.
3.
Q.S
AN-NAHL : 14
Surat an-Nahl ayat 14 tidak memiliki asbabun nuzul,
akan tetapi memiliki munasabah dari ayat sebelumnya. Surat ini termasuk
golongan surat Makkiyah.
Munasabah : Pada ayat-ayat yang lalu, Allah
menyebutkan nikmat yang dapat dirasakan oleh manusia di permukaan bumi yaitu
nikmat yang mereka peroleh dari binatang yang mencukupkan keperluan hidup
manusia, baik untuk makanan maupun untuk dijadikan sebagai kendaraan. Pada
ayat-ayat ini, Allah menyebutkan pula nikmat yang diperoleh manusia dari langit
berupa hujan, yang dapat dijadikan sebagai minuman dan dapat pula menumbuhkan
dan menyuburkan tanaman.[6]
Kata tastakhrijun
(ﺘﺴﺗﺨﺮﺠﻮﻦ) terambil dari
kata akhraja (ﺃﺨﺮﺝ)
yang
berarti mengeluarkan. Penambahan sin dan ta’ pada kata itu mengisyaratkan upaya
sungguh-sungguh. Ini berarti untuk memperoleh perhiasan itu dibutuhkan upaya melebihi
menangkap ikan-ikan yang mati dan telah mengapung di lautan atau terdampar di
darat.
Kata tara (
ﺘﺮﻲ ) yang berarti kamu lihat ditunjukkan
kepada siapapun yang dapat melihat dengan pandangan mata atau dengan nalar.
Penggunaan kata ini dimaksudkan sebagai anjuran untuk melihat dan merenung
betapa indah serta mengagumkan objek tersebut. Redaksi melihat apalagi dalam
bentuk pertanyaan seringkali digunakan al-quran untuk maksud dorongan merenung
dan memperhatikan sesuatu yang aneh atau menakjubkan.[7]
Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat yang terdapat di
lautan yang diberikan kepada hambaNya. Dijelaskan bahwa Dia yang telah
mengendalikan lautan untuk manusia. Maksudnya ialah mengendalikan segala macam
nikmatNya yang terdapat di lautan agar manusia dapat memperoleh makanan dari
lautan itu berupa daging yang segar, yaitu segala macam jenis ikan yang
diperoleh manusia dengan jalan menangkapnya.
Allah telah menciptakan padanya mutiara-mutiara dan
berbagai macam perhiasan yang berharga, serta memudahkan bagi hamba-hambanya
dalam mengeluarkannya dari tempatnya untuk perhiasan yang mereka pakai.[8]
Nikmat lain yang diberikan kepada manusia dari
lautan ialah dapat menjadikannya sebagai sarana lalu lintas pelayaran, baik
oleh kapal layar ataupun kapal mesin. Kapal-kapal itu hilir mudik dari suatu
Negara ke Negara lain untuk mengangkut segala macam barang perdagangan sehingga
mempermudah perdagangan antar Negara tersebut. Dari perdagangan itu, manusia
mendapat rezeki karena keuntungan yang diperolehnya. [9]
Nikmat-nikmat itu disebutkan agar manusia mensyukuri
semua nikmat yang diberikan-Nya kepada mereka. Juga dimaksudkan agar manusia
memahami betapa besar nikmat Allah yang telah diberikan pada mereka dan
memanfaatkan nikmat yang tiada tara itu untuk beribadah kepada-Nya dan
kesejahteraan mereka sendiri.
4.
Q.S.
AT-THAHA : 81
Surat at-Taha ayat 81 tidak memiliki asbabun nuzul,
akan tetapi memiliki munasabah atau hubungan dari ayat sebelumnya. Surat at-Taha
termasuk golongan surat Makkiyah.
Munasabah : Pada ayat-ayat yang lalu Allah
mengisahkan pertandingan Musa dan ahli-ahli sihir Firaun yang berkesudahan
dengan kemenangan Musa, yang akhirnya ahli-ahli sihir itu beriman kepada Musa.
Sedang Firaun tetap saja tidak mau tunduk menerima kebenaran. Ia dan kaumnya
tetap saja keras kepala menentang yang hak, menyimpang dari jalan yang benar.
Maka pada ayat-ayat berikut ini Allah menerangkan tenggelamnya Firauan dan
tentaranya di laut pada waktu mengejar Musa
ketika Musa hendak keluar meninggalkan Mesir menuju gunung Tur.
Secara etimologis, ﻏﺿﺒﻲ(ghadabi)
berarti kemarahanku/murkaku. Dalam kontek ayat di atas, kata ini menggambarkan
ancaman kemurkaan Allah yang akan ditimpakan kepada Bani Israil, jika mereka
menolak memakan rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka dan mereka
melampaui batas. Karena mereka telah diselamatkan oleh Allah dari kejaran
rombongan Firaun, sudah selayaknya mereka tidak menuntut yang lebih dan
melampaui batas dari apa yang telah diberi oleh Allah.[10]
Pada ayat ini Allah menyuruh supaya mereka memakan
di antara rezeki yang baik, yang lezat cita rasanya dan yang telah Allah
karuniakan kepada mereka, jangan sekali-sekali mereka menyalahgunakannya,
seperti menafkahkannya dengan boros, tidak mensyukurinya, mendermakan kepada
kemaksiatan, dll. Karena kalau demikian berarti mereka telah mengundang
kemurkaan Allah yang akan menimpakan siksa-Nya. Celaka dan binasalah
orang-orang yang telah ditimpa kemurkaan Allah.
C.
ANALISIS AYAT
- Q.S. AL-BAQARAH : 168
Ayat ini Allah memperingatkan dan memerintahkan
manusia agar memakan rezeki pemberian Allah yang halal dan tidak mengikuti
langkah – langkah setan karena setan itu adalah musuh nyata bagi manusia.
2.
Q.S.
AL-MAIDAH : 88
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada hamba-Nya
agar makan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan-Nya kepada
mereka. “Halal” di sini mengandung pengertian, halal bendanya dan halal cara
memperolehnya. Sedangkan “baik” adalah dari segi kemanfaatannya, yaitu
mengandung manfaat dan maslahat bagi tubuh, mengandung gizi, vitamin, protein
dan sebagainya. Makanan tidak baik, selain tidak mengandung gizi, juga jika
dikonsumsi akan merusak kesehatan.
3.
Q.S
AN-NAHL : 14
Pada ayat ini nikmat-nikmat itu disebutkan agar
manusia mensyukuri semua nikmat yang diberikan-Nya kepada mereka. Juga
dimaksudkan agar manusia memahami betapa besar nikmat Allah yang telah
diberikan pada mereka dan memanfaatkan nikmat itu untuk beribadah kepada-Nya
dan kesejahteraan mereka sendiri.
4.
Q.S.
AT-THAHA : 81
Ayat ini Allah menyuruh agar manusia memakan rezeki
yang baik, yang lezat cita rasanya dan yang telah Allah karuniakan kepada
mereka, tidak menyalahgunakannya, seperti menafkahkannya dengan boros, tidak
mensyukurinya, memanfaatkannya kepada kemaksiatan, dll. Jika mereka demikian maka
Allah akan menimpakan siksa kepada-Nya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari Surat
Al-Baqarah : 168, Surat Al-Maidah : 88, Surat An-Nahl : 14,
dan Surat At-Thaha : 81 menjelaskan
tentang cara mendayagunakan harta yang benar dimana Allah memerintahkan manusia agar
memakan rezeki pemberian-Nya yang halal dan baik, serta tidak menyalahgunakan
harta tersebut di jalan yang tidak di ridhoi Allah. Disamping itu dari ayat di
atas memerintahkan agar manusia mensyukuri semua nikmat yang diberikan Allah
dan memanfaatkan nikmat itu untuk beribadah kepada-Nya. Jika manusia tidak
malaksanakan perintah Allah maka Allah akan menimpakan siksa kepadanya.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kementerian Agama RI. 2011. Al-quran dan
Tafsirnya. Jakarta : Widya Cahaya
Shihab, M. Quraish. 2001. Tafsir Al-Misbah.
Ciputat : Lentera Hati
Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta : Pustaka
Panjimas
DEPAG.
2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya
Ad-Dimasyqi,
Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir. 2003. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung : Sinar Baru Algensindo
[1]
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta
: Pustaka Panjimas, 198), 49
[2] Kementerian
Agama RI, Al-quran dan Tafsirnya, (Jakarta : Widya Cahaya, 2011), jilid 2,
hlm. 247-248
[8] Al-Imam
Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Ibnu Kasir, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2003), juz 14, hlm. 122
0 komentar:
Posting Komentar