BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Saudi Arabia dapat menjadi salah satu
pilihan sistem peradilan modern dan menarik untuk dipelajari karena beberapa
hal diantaranya yang pertama adalah Saudi Arabia adalah tempat dilahirkan Nabi
Muhammad SAW dan agama islam menjadi panutan umat di seluruh dunia, tetapi negara
ini mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara-negara muslim
lainnya.
Kedua, negara ini tidak dapat dikategorikan
sebagai negara sipil, tetapi proses penegakan hukum di negara ini dapat
berjalan dengan tertib meskipun tidak menggunakan sistem civil law.
Ketiga, Saudi Arabia tidak mengenal pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan negara ini berjalan
di bawah Raja secara harmonis dan selalu berpegang teguh pada syariat Islam.
Keempat, negara Saudi Arabia mengalami kemajuan
atau modernisasi tetapi mereka tetap berpegang teguh pada syariat Islam dan tetap
menggunakan tradisi lama.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah kerajaan Saudi Arabia?
2.
Apa saja sumber hukum peradilan di Saudi Arabia?
3.
Bagaimana peradilan di kerajaan Saudi Arabia?
4.
Bagaimana reformasi bidang peradilan di Saudi Arabia?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah kerajaan Saudi Arabia.
2. Untuk
mengetahui sumber hukum peradilan di Saudi Arabia.
3. Untuk
mengetahui peradilan di kerajaan Saudi Arabia.
4. Untuk
mengetahui reformasi bidang peradilan di Saudi Arabia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kerajaan Saudi Arabia
Kerajaan Saudi Arabia muncul ketika Abd. Aziz Ibn Abd al-Rahman al-Su’ud berhasil menguasai wilayah
Hijaz (wilayah Barat Saudi Arabia sekarang) pada tahun 1924. Sebagai pendiri
kerajaan dan raja pertama, ia menerapkan ajaran Islam dalam kebijakan publik,
sistem peradilan dan lapangan kehidupan yang lain.
Kerajaan tidak mengenal
partai-partai politik. Kebijakan negara tergantung kepada Raja dan Raja harus
berjalan sesuai dengan ketentuan Syari’at dan tradisi kerajaan. Kekuasaan Raja
bukan tidak terbatas. Kebijakannya harus memperolah konsensus dari keluarga
kerajaan, para ulama dan unsur-unsur lain dalam masyarakat. Anggota keluarga kerajaan
memilih raja dari kalangan mereka sendiri, tetapi harus mendapat dukungan dari
para ulama. Karena itu, Raja, Syari’at Islam, para ulama dan tradisi Saudi
adalah bagian yang tidak terpisah dalam sistem Kerajaan Saudi Arabia. [1]
Kerajaan Saudia Arabia diproklamirkan pada
tahun 1932 M, yang merupakan gabungan
negara yang berdaulat yaitu Nejed dan Hijaz dimana sebelumnya berdiri
sendiri. Nejed berada di bawah pimpinan Abd. Aziz Ibn Abd al-Rahman al-Su’ud,
sedangan Hijaz di bawah pimpinan Syarif Husain.
Di wilayah Nejed, pengaruh kekuasaan Turki
Usmani sangat kecil sedangkan di Hijaz pengaruhnya sangat besar. Pengaruh
aliran Wahabi di Nejed sangat besar sehingga madzab Hanbali berhasil
dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah. Berbeda di Hijaz, wilayah ini dipengaruhi
kekuasaan Turki Usmani yang bermazhab Hanafi, tetapi dalam pengamalannya
masyarakat muslim lebih cenderung ke mazhab Syafi’i. Permasalahan di Hijaz
lebih banyak daripada di Nejed. Begitu juga pengaruh asing yang masuk ke Hijaz
lebih cepat dibandingkan ke Nejed. Mazhab Syafii yang menjadi panutan orang
Hijaz lebih toleran daripada mazhab Hanbali yang digandrungi penduduk Nejed.
Sikap toleransi secara langsung diperlihatkan oleh Abd. Aziz selaku penguasa
(raja).
Disamping mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi
kerajaan Saudi Arabia, tiga mazhab lainnya tetap diakui keberadaannya. Pemerintah
menyadari bahwa secara umum peraturan perundang-undangan yang berlaku di Hijaz
masih diwarnai oleh peraturan yang berlaku di Turki Usmani, sementara ketentuan
yang mengenai keluarga tetap mengikuti peraturan yang berlaku di masing-masing
suku (kabilah). Sistem dan lembaga peradilan yang dilaksanakan di Nejed dan sekitarnya berbeda dengan di Hijaz. Di
Nejed, proses peradilan diselenggarakan di masjid kaum, yang dipimpin oleh
hakim tunggal, sementara sumber hukum yang dijadikan rujukan adalah pendapat
Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.
Selain tugas pokok mengadili dan menyelesaikan
perkara, para hakim juga bertugas :
1.
Merangkap sebagai imam dalam shalat,
2.
Sebagai khatib pada hari Jumat dan dua hari raya,
3.
Sebagai mubaligh,
4.
Sebagi mufti,
5.
Memimpin upacara aqad nikah,
6.
Sebagai katib al-adl (hampir
sama dengan notaris),
7.
Urusan bait al-mal,
8.
Urusan pengalihan harta pusaka.
Tertanggal 6 Shafar 1346H/12 Agustus 1927M, semua lembaga
peradilan yang ada dihapus, dan pengadilan di kerajaan Saudia Arabia terdiri
atas 3 tingkatan yaitu :[2]
1. Al-Mahakim
al-Musta’jilah / Mahakim Juziyah yaitu peradilan segera. Lembaga ini bertugas menyelesaikan
perkara-perkara yang mendesak, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Bidang pidana
menyangkut kejahatan yang menimbulkan luka, sedangkan dalam bidang perdata
menyangut masalah keuangan yang nilainya tidak lebih dari 300 riyal. Secara
kelembagaan, kedudukan peradilan ini berpusat di kota Makkah, Madinah, dan
Jeddah. Perangkat penegak hukum pada pengadilan ini adalah hakim tunggal.
2. Al-Mahakim
Asy-syar’iyyah yaitu peradilan syar’iyyah. Peradilan ini berwenang
menangani hukuman potong tangan dan hukuman mati. Selain itu juga berwenang
menyelesaikan perkara al-ahwal a;-syakhshiyah, yang mencakup nikah,
talak, rujuk, wasiat, dan al-mal yang nilainya 300riyal. Peradilan ini
berkedudukan di kota Makkah, Jeddah dan Madinatul Munawarrah. Perangkat hukum
yang bertugas pada pengadilan ini adalah tiga orang hakim, seorang ketua, dan
dua anggota.
3. Hay’ah
al-Muraqabah al-Qadha’iyyah yaitu Badan Pengawas Peradilan atau disebut
dengan Peradilan Syariat Agung (al-mahkamah asy-syar’iyyah al-kubra). Lembaga
banding ini berpusat di kota Makkah. Susunan lembaga ini terdiri atas pimpinan,
pembantu, dan tiga orang hakim anggota, yang keseluruhannya diangkut raja.
Tugas dan wewenang Hay’ah al-Muraqabah al-Qadha’iyyah adalah :
a. Mengadili
perkara-perkara banding
b. Mengendalikan
administrasi dan mengawasi peradilan
c. Menerbitkan
fatwa yang dimintakan kepadanya
d. Mengawasi
lembaga pendidikan dan kurikulum pendidikan
e. Supervisi
terhadap lembaga-lembaga amar ma’ruf nahi
munkar
Di kerajaan Saudia Arabia, kebebasan
hakim mendapat perhatian dan jaminan penuh, sehingga hakim memiliki keleluasaan
dalam memahami dan menta’wilkan nash. Dalam menghadapi suatu kasus
misalnya, hakim memusatkan perhatiannya kepada perkara dan kejahatan yang
terjadi (objek perkara) bukan kepada orang (subjek perkara) sebagai pelakunya. Para
hakim hanya terikat oleh syariat. Karena itu tidak seorang pun yang boleh mencampuri
urusan peradilan. Di hadapan majelis hakim, semua pihak memiliki derajat dan
strata sosial yang sama, termasuk kedudukan raja dan rakyat jelata.
B. Sumber Hukum Peradilan
Sumber hukum peradilan yang pertama
dan paling utama di kerajaan Saudi Arabia adalah al-Quran dan hadist. Sumber
hukum lainnya selain al-Quran dan hadist ini dimodifikasi dengan sistem yang
ditempuh oleh mazhab Hanbali. Bahan rujukan itu berupa kitab-kitab sebagai
berikut :[3]
1. Kitab Syarh Muntaha al-Iradat al-Matn.
2. Kitab Syarh al-Iqna’, Khas syaf al-Qina’an matni
al-Qina’, al-matn li al-Buhuti.
Kedudukan kitab-kitab itu hanyalah
sebagai kerangka acuan yang akan menjamin berlakunya syariat Islamiyah, maka
kitab-kitab tersebut tidak berlaku mutlak untuk diterapkan. Apabila dalam
penerapannya kurang atau sama sekali
tidak dapat mencapai kemaslahatan umat, maka terbuka untuk berpedoman pada
mazhab lainnya.
C. Peradilan Saudi Arabia
1. Prinsip, Tingkatan dan Wewenang Peradilan
Undang-Undang Peradilan kerajaan
Saudi Arabia menyebutkan
beberapa prinsip penyelenggaraan peradilan yaitu :
a. Sederhana,
mudah, dan segera memutuskan hakim.
b. Bersih,
adil, dan tidak membeda-bedakan kedudukan manusia dihadapan peradilan.
c. Independen,
terlepas dari tekanan kekuasaan eksekutif dan legislatif.
d. Para
hakim tidak memberlakukan hukum selain syariat Islam.
Pada masa Kerajaan
Saudi Arabia dipimpin Raja Faisal, dibentuk kementerian Kehakiman pada tahun
1962 dan mengangkat Menteri Kehakiman pada tahun 1970. Sejak itu, urusan
peradilan langsung di bawah kementerian kehakiman, sementara kelembagaan
peradilan terus dikembangkan sesuai dengan visi kerajaan yang didasarkan atas
landasan Islam yang berbunyi “ Kerajaan
berdasarkan Islam dan berpedoman pada syariat Islam dan mazhab yang dipilih
sebagai mazhab resmi negara adalah Hanbali “.[4]
Lembaga peradilan di
Saudi Arabia menganut sitem hukum ganda yang terdiri atas 2 jenis yaitu :
a. Peradilan
berdiri sendiri, yaitu peradilan yang bersifat adminsitratif. Peradilan ini
tidak secara khusus berdasarkan syariat Islam, tetapi dirancang agar sesuai
dengan prinsip-prinsip syariat dengan memperhatikan dan mengambil syariat
secara umum. Peradilan ini terdiri dari 11 lembaga peradilan yaitu :
Ø Diwan al-Mazhalim (Dewan Ketidakadilan).
Ø Hai’ah Muhakamah al-Wuzara’ (Lembaga
Peradilan Kabinet).
Ø Al-Hai’at al-Mukhtashshah bi Ta’dib al-Muwazhzhafin (Lembaga
Khusus Pendisiplinan Pegawai).
Ø Lajnah Qadhaya at-Tazwir (Komite
Perkara-Perkara Pemalsuan).
Ø Hai’ah
Hasm an-Niza’at at-Tijariyyah (Lembaga Penyelesaian Sengketa Dagang).
Ø Al-Lujan al-Markaziyyah liqadhaya al-Ghisy at-Tijari (Komite
Pusat Perkara-Perkara Penipuan Dagang).
Ø Al-Ghuraf
at-Tijariyyah wa ash-Shina’iyyah (Kamar Dagang dan Industri).
Ø Al-Mahkamah
at-Tijariyyah
(Peradilan Perdagangan).
Ø Lajnah Taswiyah Qadhaya al-‘Ummal (Komite
Penyelesaian Perkara Buruh),
Ø Al-Majalis at-Ta’dibiyyah al-‘Askariyyah (Majelis
Pendisiplinan Militer).
Ø Al-Majalis at-Ta’dibiyyah li al-Amn ad-Dakhili (Majelis
Pendisiplinan Keamanan Dalam Negeri).
b. Peradilan
Syar’iyyah (Peradilan Syariat Islam),
yaitu peradilan yang sepenuhnya berdasarkan Syariat. Peradilan Syar’iyyah terdiri atas 4 tingkatan
peradilan yaitu :
Ø Majelis al-Qadha al-A’la (Mahkamah Agung).
Secara admisnistratif, berwenang mengangkat, mengatur kenaikan pangkat,
pemindahan, dan pengaturan cuti para hakim. Secara yuridis, berwenang meninjau
ulang putusan-putusan peradilan yang lebih rendah tingkatannya.
Ø Mahkamah al-Tamyiz (Peradilan Tingkat
Banding), berwenang meninjau ulang putusan perdata dan pidana yang diputuskan
hakim yang tingkatannya lebih rendah.
Ø Al-Mahakim al-Ammah (Pengadilan Biasa),
berwenang mengadili segala macam perkara.
Ø Al-Mahakim al-Juz’iyah (Pengadilan Segera),
berwenang mengadili perkara-perkara ringan.
2. Diwan Al-Mazhalim
Pengadilan
Mazhalim pada mulanya di zaman Raja ‘Abd al-‘Aziz merupakan tanggapan terhadap
keluhan masyarakat tentang ketidakadilan yang diterima rakyat. Ketika keluhan
masyarakat semakin banyak dan jenisnya juga semakin beragam, akhirnya pada
tanggal 12.6.1373H/1954M dibentuk sebuah badan resmi negara dengan nama Diwan
al-Mazhalim langsung di bawah Kantor Perdana Menteri. Badan inilah yang
menangani keluhan masyarakat secara profesional. Keluhan yang ditangani
termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para hakim, pejabat pemerintah dan
kontrak-kontrak yang dilakukan warga negara yang melibatkan pihak asing atau
lembaga pemerintah. Lembaga ini juga menangani keluhan masalah distribusi
barang-barang, perwakilan-perwakilan perdagangan, sengketa maritim dan semua
sengketa perdagangan selain bank.
Kewenangan
lembaga ini semakin berkembang menjadi tiga divisi, yaitu administratif,
perdagangan dan pidana. Di
sini juga terdapat sebuah Panel Audit berfungsi sebagai peradilan banding.
Keluhan disampaikan kepada Ketua Dewan yang selanjutnya akan membentuk sebuah
tim panel yang akan membicarakan kasus tersebut dan salah seorang anggotanya
harus pengacara atau ahli hukum. Putusan biasanya diambil dengan
suara terbanyak beberapa minggu setelah keluhan disampaikan. Tim dapat menolak
keluhan tersebut atau mengabulkannya. Bila putusan telah diambil, keberatan
hanya dapat diajukan ke Kabinet atau Dewan Menteri. Pemohon mengajukan
keberatannya ke Kantor Raja atau Kantor Putera Mahkota, yang kemudian
meneruskannya ke Kantor Hukum Raja atau Putera Mahkota. Selanjutnya jawaban akan
diberikan kepada Diwan al-Mazhalim. Bila putusan telah ditandatangani oleh Raja, maka putusan
tersebut bersifat final. Berbeda dengan putusan Peradilan Syar’iyyah, maka
putusan Panel Audit dalam bidang hukum administrasi dapat menjadi preseden bagi
Diwan al-Mazhalim.
Salah satu
fungsi penting Diwan al-Mazhalim adalah melaksanakan putusan lembaga luar
negeri baik peradilan maupun arbitrase. Permohonan dengan melampirkan putusan
yang sudah dilegalisasi disampaikan melalui Kantor Hukum Menteri Luar Negeri
yang selanjutnya menyampaikan kepada Diwan.[5]
D.
Reformasi Bidang Peradilan
Raja ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz
pada tanggal 1 Oktober 2007 menerbitkan Royal Order (Titah Raja) tentang
pembaharuan peradilan. Khususnya berkaitan dengan peradila syar’iyyah dan diwan al-mazhalim.
Berdasarkan aturan baru ini, maka
hirarki Pengadilan Syari’at menjadi tiga tingkat.
1. Pengadilan
Tinggi sebagai Mahkamah Agung.
2. Pengadilan
Tingkat Banding yang terdiri dari:
a. Pengadilan
Perdata,
b. Pengadilan
Pidana,
c. Pengadilan
Hukum Keluarga,
d. Pengadilan
Perdagangan, dan
e. Pengadilan
Perburuhan.
3. Ketiga adalah
Pengadilan Tingkat Pertama yang terdiri dari:
a. Pengadilan
Umum,
b. Pengadilan
Pidana,
c. Pengadilan
Hukum Keluarga,
d. Pengadilan
Perdagangan, dan
e. Pengadilan
Perburuhan.
Sementara itu, sesuai aturan baru Pengadilan Diwan al-Mazhalim berubah
menjadi Badan Peradilan Administratif yang mempunyai hirarki mirip dengan
hirarki Pengadilan Syari’at yang terdiri dari :
1.
Pengadilan
Tinggi Administratif,
2.
Pengadilan Banding Administrasi, terdiri dari :
a.
Bidang
Pendisiplinan,
b.
Bidang
Administratif,
c.
Bidang
Subsider, dan
d.
Bidang
Spesialisasi yang lain.
3.
Pengadilan
Tingkat Pertama Administratif,
terdiri dari :
a.
Bidang
Pendisiplinan,
b.
Bidang
Administratif,
c.
Bidang
Subsider, dan
d.
Bidang
Spesialisasi yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Kerajaan Saudia Arabia diproklamirkan pada tahun
1932 M, yang merupakan gabungan negara
yang berdaulat yaitu Nejed dan Hijaz. Sejak zaman sebelum Islam, suku-suku di Saudi Arabia sudah
saling berebut pengaruh. Dengan kedatangan Islam, konflik berhasil dikurangi.
Selanjutnya di awal abad kedelapan belas, Muhammad Sa’ud mewakili tradisi
kabilah berusaha membuat sebuah tradisi baru dengan Muhammad ‘Abd al-Wahhab
yang mewakili tradisi agama. Kekompakan antara pemuka suku dan pemuka agama ini
masih menjadi ciri Kerajaan Saudi Arabia sampai sekarang.
Penggabungan dua tradisi ini juga tampak dalam sistem
peradilan Saudi Arabia. Intinya adalah bahwa sengketa diselesaikan berdasarkan
senioritas, musyawarah dan Syari’at Islam. Sistem peradilan di negara ini sudah
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, tetapi tradisi Saudi masih tampak
dalam wajah peradilan dan hukum yang berlaku tidak pernah berubah, yaitu
Syari’at Islam.
Dalam reformasi peradilan yang berjalan sejak 2007,
Saudi Arabia berusaha keras menuju sebuah peradilan modern yang dapat menjawab
tantangan zaman dan sekaligus tidak ingin lepas dari tradisi lama dan Syari’at
Islam.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ka’bah, Rifyal.
2009. Peradilan Islam Kontemporer: Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Jakarta
: Universitas Yarsi
Mukhlas, Oyo Sunaryo.
2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor
: Ghalia Indonesia
Madkur, Muhammad Salam. 1979. Peradilan dalam Islam. Surabaya: PT.
Bina Ilmu
Zein, Satria
Effendi
Muhammad. 1989. Teori dan Praktek Hukum
di Kerajaan Saudi Arabia. Bandung : Istiqra IAIN Sunan Gunung Djati
[1]
Dikutip dari http://islamic-law-in-indonesia.blogspot.com/2010/02/
sistem-peradilan-saudi-arabia.html
[2] Rifyal
Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer:
Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Pakistan,
Malaysia dan Indonesia (Jakarta : Universitas Yarsi, 2009) 35
[4] Satria
Effendi Muhammad Zein, Teori dan Praktek
Hukum di Kerajaan Saudi Arabia (Bandung : Istiqra IAIN Sunan Gunung Djati,
1989) 48
0 komentar:
Posting Komentar