Rabu, 11 Juli 2012

Metode Pengambilan Nash Kedua (Mantuq dan Mafhum)

A.    PENDAHULUAN
Ada beberapa metode dalam pengambilan nash, yakni metode pengambilan nash yang pertama dan yang kedua. Metode pengambilan nash yang kedua yaitu suatu lafadz apabila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum. Dalam kesempatan kali ini, pembahasan dalam makalah ini adalah kami akan memaparkan tentang seluk beluk mantuq dan mafhum. Mulai dari pengertian, pembagian juga kehujaannya. 

B.     PERMASALAHAN
1.      Apa yang dimaksud dengan mantuq dan bagaimana pembagiannya?
2.      Apa yang dimaksud dengan mafhum dan bagaimana pembagiannya?
3.      Bagaimanakah pendapat para ulama’ tentang kehujjahan mantuq dan mafhum?

C.    PEMBAHASAN
1.      Mantuq dan pembagiannya
Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
a.       Nash
adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt QS. al-Baqarah :196;
فَمَنْ لَّمْ يَجِيْدُ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامِ فِي اٌلحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌقلى
“maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[1]
b.      Zahir
adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt :
“Dan kekal wajah Tuhan engkau.”
Wajah dalam ayat diartiukan dengan zat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.[2]
Mantuq zahir sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: dalalat al-ima’, dalalat al-isyarat dan dalalat al-iqtida’.
-          Dalalat al-ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ{رواه الترمذى}
“ Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[3]
-          Dalalat al-isyarat adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَ وَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِيَّ وَلِوَاِلدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ {لقمان/14:31}
“ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...” (QS. Luqman :14)[4]
-          Dalalat al-iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ
{رواه ابن ماجه}
“ Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[5]
2.      Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).  Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
a.       Mafhum Muwafaqah
adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[6]
·         Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَ...
Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh( dilarang ) apalagi memukulnya.
·         Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“ sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).
b.      Mafhum mukhalafah
adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِىَ لِلصَّلَواةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اٌللّهِ وَذَرُوْا اٌلْبَيْعَج ذلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلُمُوْنَ
 “apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.” (QS. Al-jum’ah:9).
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
o   Mafhum al washfi (pemahaman dengan sifat)
adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[7]
Mafhum sifat ada 3 macam:
a)      Mustaq dalam ayat
Contohnya dalam QS. Al-Hujaratayat 6
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ م بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمَام بِجَهلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ.
“ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasikh embawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.

b)      Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْتُلُوْا اٌلصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُوْمٌج وَمَنْ قَتَلَهُ, مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ اٌلنَّعْمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيَام بَلِغَ اٌلْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّرَةٌ طَعَامُ مَسَاكِيْنَ أَوْ عَدْلُ ذلِكَ صِيَامًا لِّيَدُوْقَ وَبَالَ أَمْرِهِقلىعَفَا اٌللّهُ عَمَّا سَلَفَجوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اٌللّهُ مِنْهُقلى وَاٌللّهُ عَزِيْزٌ ذُوْاٌنْتِقَامٍ.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
c)      ‘Adad ((bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:اٌلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُوْمَتٌج فَمَن فَرَضَ فِيْهِنَّ اٌلْحَجَّ فَلَا رَفَتَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى اٌلحَجِّ قلى وَمَا تَقْتُلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اٌللّهُ قلى وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرُ اٌلزَّادِ             اٌلتَّقْوَى ج وَاٌتَّقُوْنِ يَأُوْلِى اٌلأَلْبَبِ.
“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
o   Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[8]
o   Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’.
Seperti dalam firman Allah SWT:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”
(QS. Al-Maidah:6).
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.[9]
o   Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan)
adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil.
Seperti firman Allah SWT.:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.[10]
o   Mafhum hasr adalah pembatasan.
Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.11[11]
o   Mafhum syarat
adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya.
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...(الطلاق:2)
...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya. (QS. At-Thalaq:6)
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[12]

3.      Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah(dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain :13
a.       Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 ; yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”,
Ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b.      Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.

D.    Kesimpulan dan Saran
*      Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas, dapat disimpulkan, bahwasannya:
1.      Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Manthuq sendiri terbagi menjadi nash dan zahir. Sedangkan zahir terbagi menjadi 3 bagian, yaitu dalalat al-ima’, dalalat al-isyarat dan dalalat al-iqtida’.
2.      Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat ( Mafhum al-washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
3.      Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
*      Saran
ü  Umumnya kepada pembaca agar lebih memperdalam lagi tentang ilmu ushul fiqih. Karena pada zaman sekarang, sudah banyak para remaja yang lebih memilih untuk mempelajari bidang umum tanpa menghiraukan bidang Agama. Kalau hanya mempelajari ilmu umum, tanpa ilmu agama. maka tidak akan sempurna pengetahuuan kita. Sebagai generasi penerus bangsa yang beragama islam. Maka sudah sepantasnya kita untuk melestarikan dan menjaga ilmu-ilmu keagamaan kita, agar tetap melekat pada diri kita sampai ahir hayat.
ü  Khususnya Kepada penulis, jangan hanya sampai disini saja karya yang telah anda hasilkan. Buatlah tulisan-tulisan yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya. Amin.



Daftar Pustaka
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih (Kaidah Hukum Islam). Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Tim Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta : Penerbit Kencana, 2009.



[1] Tim penyusun Mkd, studi al-qur’an, (Surabaya : IAIN SA Press, 2011) hal 332
[2] Syafi’i karim, fiqh ushul fiqh (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001)  hal 178
[3] Tim penyusun, studi al-qur’an. Hal. 335
[4] Ibid, hal. 336
[5] Ibid, hal 338-339
[6] Syafi’i karim, fiqih ushul fiqh, hal. 178-179
[7] Rahmat syafe’i, ilmu ushul fiqh, hal 220
[8] Syafi’i karim, fiqih ushul fiqh, hal 183
[9] Ibid, hal 184
[10] Abdul Wahab Khalaf, kaidah hukum islam, hal. 222
[11] Tim penyusun, studi al-qur’an, hal 345
[12] Abdul wahab khalaf, kaidah hukum islam, hal.221

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates