A.
PENDAHULUAN
Ada
beberapa metode dalam pengambilan nash, yakni metode pengambilan nash yang
pertama dan yang kedua. Metode pengambilan nash yang kedua yaitu suatu lafadz
apabila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut syafi’iyah terbagi
dalam mantuq dan mafhum. Dalam kesempatan kali ini, pembahasan dalam makalah
ini adalah kami akan memaparkan tentang seluk beluk mantuq dan mafhum. Mulai
dari pengertian, pembagian juga kehujaannya.
B.
PERMASALAHAN
1. Apa yang dimaksud dengan mantuq dan bagaimana
pembagiannya?
2. Apa yang dimaksud dengan mafhum dan bagaimana
pembagiannya?
3. Bagaimanakah pendapat para ulama’ tentang
kehujjahan mantuq dan mafhum?
C.
PEMBAHASAN
1.
Mantuq
dan pembagiannya
Mantuq secara bahasa adalah
“sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian
harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa
nash dan zahir.
a.
Nash
adalah lafadz yang bentuknya telah dapat
menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna
lain. Seperti firman Allah swt QS. al-Baqarah :196;
فَمَنْ لَّمْ
يَجِيْدُ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامِ فِي اٌلحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌقلى
“maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah
kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[1]
b.
Zahir
adalah suatu perkara yang menunjukkan
sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai
kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt :
“Dan kekal wajah Tuhan engkau.”
Wajah dalam ayat diartiukan dengan zat, karena mustahil
bagi Tuhan mempunyai wajah.[2]
Mantuq zahir sendiri dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu: dalalat al-ima’, dalalat al-isyarat dan dalalat al-iqtida’.
-
Dalalat
al-ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu
lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum
langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan
Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ
أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ{رواه الترمذى}
“ Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda:
Barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka
tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan
hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat
al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi
illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[3]
-
Dalalat
al-isyarat adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun
bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari
hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَ وَصَّيْنَا
الْأِنْسَانَ بِوَلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِيَّ وَلِوَاِلدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ
{لقمان/14:31}
“ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...” (QS.
Luqman :14)[4]
-
Dalalat
al-iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam
pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali
dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ
{رواه ابن ماجه}
“ Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan
bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw.
pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan
kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata
al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi :
diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau
karena keterpaksaan.[5]
2.
Mafhum
dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah
“ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
a.
Mafhum
Muwafaqah
adalah suatu petunjuk kalimat yang
menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah
yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang
tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah
karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[6]
·
Fahwal
Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang
diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلاَ تَقُلْ
لَهُمَ...
“ Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang
ibu bapakmu.”
sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh( dilarang )
apalagi memukulnya.
·
Lahnal
Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ
يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى
بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“ sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak
yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak
yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang
(haram).
b.
Mafhum
mukhalafah
adalah pengertian yang dipahami berbeda
dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh
karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang
diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt
يَأَيُّهَا
الَّدِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا نُوْدِىَ لِلصَّلَواةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اٌللّهِ وَذَرُوْا اٌلْبَيْعَج ذلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلُمُوْنَ
“apabila kamu dipanggil
untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan
dan tinggalkan jual beli.” (QS. Al-jum’ah:9).
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari
jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
o
Mafhum al
washfi (pemahaman dengan sifat)
adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan
hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal
(keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ
زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah
binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[7]
Mafhum sifat ada 3 macam:
a)
Mustaq dalam
ayat
Contohnya dalam QS.
Al-Hujaratayat 6
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ م بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمَام بِجَهلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ.
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ م بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمَام بِجَهلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ.
“ Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasikh embawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
Dapat
dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti
beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil
wajib diterima.
b)
Hal
(keterangan keadaan)
Seperti fiman
Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوا لاَ
تَقْتُلُوْا اٌلصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُوْمٌج وَمَنْ قَتَلَهُ,
مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ اٌلنَّعْمِ يَحْكُمُ
بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيَام بَلِغَ اٌلْكَعْبَةِ أَوْ
كَفَّرَةٌ طَعَامُ مَسَاكِيْنَ أَوْ عَدْلُ ذلِكَ صِيَامًا لِّيَدُوْقَ وَبَالَ
أَمْرِهِقلىعَفَا اٌللّهُ عَمَّا سَلَفَجوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ
اٌللّهُ مِنْهُقلى وَاٌللّهُ عَزِيْزٌ ذُوْاٌنْتِقَامٍ.
“ Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu
sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad
yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi
makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan
itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan
apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah
akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
Ayat
ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja.
Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan
binatang buruan tidak sengaja.
c)
‘Adad
((bilangan)
Seperti
firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:اٌلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُوْمَتٌج
فَمَن فَرَضَ فِيْهِنَّ اٌلْحَجَّ فَلَا رَفَتَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا
جِدَالَ فِى اٌلحَجِّ قلى وَمَا تَقْتُلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ
اٌللّهُ قلى وَتَزَوَّدُوْا
فَإِنَّ خَيْرُ اٌلزَّادِ اٌلتَّقْوَى ج وَاٌتَّقُوْنِ يَأُوْلِى اٌلأَلْبَبِ.
“
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat
fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai
orang-orang yang berakal.
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar
bulan-bulan itu tidak syah.
o
Mafhum illat adalah
menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena
memabukkan.[8]
o
Mafhum ghayah
(pemahaman dengan batas akhir)
adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai
pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan
“illa” dan dengan “hatta’.
Seperti dalam firman Allah SWT:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ
الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”
(QS. Al-Maidah:6).
Mafhum mukhalafahnya adalah
membasuh tangan sampai kepada siku.[9]
o
Mahfum laqaab
(pemahaman dengan julukan)
adalah menggantungkan hukum kepada isim
alam atau isim fiil.
Seperti firman Allah SWT.:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Mafhum mukhalafahnya adalah
selain para ibu.[10]
o
Mafhum hasr
adalah pembatasan.
Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai
pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah
yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.11[11]
o
Mafhum syarat
adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah
adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang
sebaliknya.
...وَإِنْ
كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...(الطلاق:2)
...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya. (QS. At-Thalaq:6)
Mafhum mukhalafahnya adalah
istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[12]
3.
Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah,
karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’
bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum
laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu
sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau
mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini
tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang
menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum
mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah
utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih
diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut
boleh dijadikan hujjah(dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain
:13
a.
Apa yang
disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada
dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 ; yang artinya “... dan
anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”,
Ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat
ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah
tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri kitu
berada dalam pemeliharaan suami.
b.
Apa yang
disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS.
Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain
di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka
sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain
dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun
baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk
memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di
samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh
asal dapat ditegakkan dalilnya.
D.
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan yang
telah kami paparkan diatas, dapat disimpulkan, bahwasannya:
1.
Mantuq secara
bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah
yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu
sendiri.
Manthuq sendiri terbagi menjadi nash dan zahir. Sedangkan
zahir terbagi menjadi 3 bagian, yaitu dalalat al-ima’, dalalat al-isyarat dan
dalalat al-iqtida’.
2.
Mafhum secara
bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah
adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab
dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat ( Mafhum
al-washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
3.
Mantuq dan
mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah
terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah.
Saran
ü Umumnya kepada pembaca agar lebih memperdalam lagi
tentang ilmu ushul fiqih. Karena pada zaman sekarang, sudah banyak para remaja
yang lebih memilih untuk mempelajari bidang umum tanpa menghiraukan bidang
Agama. Kalau hanya mempelajari ilmu umum, tanpa ilmu agama. maka tidak akan
sempurna pengetahuuan kita. Sebagai generasi penerus bangsa yang beragama
islam. Maka sudah sepantasnya kita untuk melestarikan dan menjaga ilmu-ilmu
keagamaan kita, agar tetap melekat pada diri kita sampai ahir hayat.
ü Khususnya Kepada penulis, jangan hanya sampai
disini saja karya yang telah anda hasilkan. Buatlah tulisan-tulisan yang dapat
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Dan semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembacanya. Amin.
Daftar Pustaka
Abdul
Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih (Kaidah Hukum Islam). Cetakan pertama.
Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Syafe’i,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia,
2010.
Karim,
Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia,
2001.
Tim
Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press,
2011.
Efendi,
Satria. Ushul Fiqih. Jakarta : Penerbit Kencana, 2009.
[1] Tim penyusun Mkd, studi al-qur’an, (Surabaya : IAIN SA Press, 2011) hal
332
[2] Syafi’i karim, fiqh ushul fiqh (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hal 178
[3] Tim penyusun, studi al-qur’an. Hal. 335
[4] Ibid, hal. 336
[5] Ibid, hal 338-339
[6] Syafi’i karim, fiqih ushul fiqh, hal. 178-179
[7] Rahmat syafe’i, ilmu ushul fiqh, hal 220
[8] Syafi’i karim, fiqih ushul fiqh, hal 183
[9] Ibid, hal 184
[10] Abdul Wahab Khalaf, kaidah hukum islam, hal. 222
[11] Tim penyusun, studi al-qur’an, hal 345
[12] Abdul wahab khalaf, kaidah hukum islam, hal.221
0 komentar:
Posting Komentar