BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak orang
yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu
hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat
langsung
dan pembuat
tidak langsung.
Di samping itu
banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang
terjadi di masyarakat kita. Sering
kali terjadi perdebatan dalam menjatuhkan hukuman pada pembuat langsung maupun
pada pembuat tidak langsung perbuatan pidana. Untuk menjatuhkan
pidana atas suatu perkara tersebut, maka hakim harus mengetahui mana pembuat
yang langsung maupun yang tidak langsung dan mendasarkan putusannya selain pada
undang – undang juga mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Dalam hukum
perdata pertanggungjawaban dapat dialihkan ke orang lain tetapi dalam hukum
pidana tidak bisa, melainkan harus dipertanggungjawabkan masing-masing oleh
pelakunya.
Untuk mengetahui
lebih jelas siapa-siapa dan bagaimana pertanggungjawabannya yang harus dijatuhi
hukuman ketika terjadi perbuatan penyertaan dalam hukum pidana maka dalam makalah
ini kami akan membahas tentang perbuatan penyertaan dalam hukum pidana.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan penyertaan ?
2.
Bagaimana penyertaan dalam KUHP Indonesia ?
3.
Bagaimana pertanggungjawaban pembantu dalam
penyertaan ?
4.
Apa saja bentuk-bentuk penyertaan ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari penyertaan
?
2.
Untuk
mengetahui penyertaan dalam
KUHP Indonesia ?
3.
Untuk
mengetahui pertanggungjawaban
pembantu dalam penyertaan ?
4.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk
penyertaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan
Istilah Penyertaan
Berbeda dengan hukum perdata dimana pertanggungjawaban dapat
dialihkan kepada pihak lain, dalam hukum pidana hal demikian tidak dapat
dilakukan. Masing-masing individu bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.
Tanggungjawab tersebut tidak dapat dialihkan kepada orang lain termasuk
keluarganya sekalipun.
Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya
seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana.[1]
Dalam praktek sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak
pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut
serta.
Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan
tindak pidana tersebut, masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang
lain, Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin
suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu
menunjang perbuatan yang lain, yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya
tindak pidana.
Beberapa istilah penyertaan yaitu :
a.
Turut campur dalam peristiwa pidana(Tresna)
b.
Turut berbuat delik (Karni)
c.
Turut serta (Utrecht)
d.
Delneming (Belanda); Compicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (perancis).
B. Penyertaan Menurut KUHP Indonesia
Pasal 55 KUHP menyatakan :[2]
1. Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:
Ke-1 : mereka yang melakukan, yang meyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Ke-2 : mereka yang dengan pemberian, kesanggupan,
penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan,
atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja
membujuk perbuatan itu.
2. Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja
dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 berbunyi :
Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberikan bantuan pada
waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan,
sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari Pasal-Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa penyertaan
adalah apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana
atau kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu
orang.
Sehubungan dengan pertanggungjawabannya, maka dikenal
beberapa penanggung jawab suatu tindak pidana yang masing-masing berbeda-beda
pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal itu, Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad
menyatakan dalam hukum pidana penanggung jawab peristiwa pidana secara garis
besar dapat diklasifikasikan atas dua bentuk yaitu : [3]
1. Penaggung jawab penuh
2. Penaggung jawab sebagian.
Sehubungan dengan status dan keterlibatan seseorang dalam
terjadinya suatu tindak pidana, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP juga menentukan sistem
pemidanaannya yaitu :[4]
1.
Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai dader
atau pembuat delik baik kapasitasnya sebagai pleger, doenpleger,
medepleger, maupun uitlokker maka ia dapat dikenai ancaman pidana
maksimum sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar. (penaggung jawab penuh)
2.
Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai medeplichtiger
atau pembantu bagi para pembuat delik, maka ia hanya dapat dikenai ancaman
pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang
dilanggar.(penanggung jawab sebagian).
Moeljatno mengatakan bahwa ajaran bahwa ajaran penyertaan
sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam
timbulnya suatu perbuatan pidana. Karena sebelum seseorang dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu harus sudah melakukan
perbuatan pidana. Oleh karena itu, di samping delik-delik biasa terdapat
beberapa delik-delik seperti percobaan dan delik penyertaan yang memperluas
dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana.
[5]
Penyertaan menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian
besar, yaitu pembuat dan pembantu.
1. Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang
terdiri dari :
a. Pelaku (pleger);
Pelaku
adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan
dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan atau diartikan sebagai orang
yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya
tindak pidana itu tidak akan terwujud. Secara formil pleger adalah siapa yang
melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak
pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial
plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang.
Menurut
pasal 55 KUHP, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara
pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama
dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jadi pleger adalah
orang yang memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila melalui orang-orang
lain atau bawahan mereka. [6]
b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger);
Wujud dari
penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah
menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila
seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak
pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai hukuman
dipana. Jadi si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka yang dikendalikan
oleh si penyuruh.
Menurut
Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan
ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak
dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Doenpleger adalah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan
sebagai alat. Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus
ministra/auctor intellectualis), dan pembuat tidak langsung (manus
domina/auctor intellectualis).
Unsur-unsur
pada doenpleger adalah:[7]
a) Alat yang dipakai adalah manusia;
b) Alat yang dipakai berbuat;
c) Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggngjawabkan.
Sedangkan
hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat
dipertanggungjawabkan, adalah:
a) Bila ia tidak sempurna pertumbuhan
jiwanya (pasal 44);
b) Bila ia berbuat karena daya paksa
(pasal 48);
c) Bila ia berbuat karena perintah
jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));
d) Bila ia sesat (keliru) mengenai
salah-satu unsur delik;
e) Bila ia tidak mempunyai maksud
seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan.
Jika yang
disuruh melakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap mengacu
pada pasal 45 dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.
Dalam KUHP
Indonesia, justru diadakan perbedaan si penyuruh dan si pembujuk. Perbedaan ini
adalah demikian bahwa dalam hal pembujukan si pelaku langsung tetap dapat
dihukum, demikian juga si pembujuk. Perbedaan lain adalah bahwa si pembujuk
hanya dapat dihukum apabila ia mempergunakan ikhtiar-ikhtiar yang dirinci dalam
Pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.
c. Yang turut serta (medepleger);
Medepleger adalah orang yang melakukan
kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara
bersama-sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai
dengan yang telah disepakati.
Di dalam medepleger
terdapat tiga cirri penting yang membedakannya dengan bentuk penyertaan
yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang
atau lebih. Kedua, semua orang yang terlibat benar-benar
melakukan kerja sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang
terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan,
tetapi memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Ada tiga
kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak yang telibat dalam
pelaksanaan perbuatan pidana yaitu :
a) Mereka memenuhi semua rumusan delik;
b) Masing-masing hanya memenuhi
sebagian rumusan delik.
c) Salah-satu memenuhi semua rumusan
delik;
d. Penganjur (uitlokker).
Sebagaimana
dalam dalam bentuk menyuruh melakukan dalam uitlokker pun terdapat dua
orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang
menganjurkan (actor intelectualis) dan orang yang dianjurkan (actor
materialis). Bentuk penganjurannya adalah actor intelectualis menganjurkan
orang lain (actor materialis) untuk melakukan perbuatan pidana. [8]
Penganjur
adalah orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
pidana, dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi anjurannya
disebabkan karena terpengaruh atau tergoda oleh upaya-upaya yang dilancarkan
penganjur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Berdasarkan
pengertian di atas terdapat empat ciri penting uitlokker yaitu : [9]
a) Melibatkan dua orang, dimana satu
pihak bertindak sebagai actor intelectualis, yakni orang yang
menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan pihak yang
lainnya bertindak sebagai actor materialis yakni orang yang melaksanakan
perbuatan pidana atas anjuran actor intelectualis.
b) Actor intelectualis
menggerakkan hati atau sikap actor
materialis, sehingga ia benar-benar berbuat tindak pidana yakni dengan melalui
upaya-upaya yaitu :
-
Memberi sesuatu atau menjanjikan akan member sesuatu.
-
Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat yang dimiliki actor
intelectualis.
-
Memakai kekerasan atau paksaan tetapi tidak sampai merupakan
suatu daya paksa sehingga actor materialis masih memiliki kebebasan
untuk menentukan sikapnya.
-
Memakai ancaman yang bersifat menyesatkan actor
materialis.
-
Memberikan kesempatan, sarana atau informasi kepada actor
materialis.
c) Terjadinya tindak pidana yang
dilakukan actor materialis harus benar-benar merupakan akibat dari
adanya pengaruh atau bujuk rayu actor intelectualis.
d) Secara yuridis actor materialis adalah
orang yang dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang
dilakukannya itu.
Penganjur
(uitlokker) mirip dengan menyuruh melakukan (doenpleger), yaitu
melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak
pada:
Ø Pada penganjuran, menggerakkan
dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang
(KUHP), sedangkan menyuruh melakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak
ditentukan;
Ø Pada penganjuran, pembuat materiil
dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiil tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Syarat
penganjuran yang dapat dipidana, antara lain;
a) Ada kesengajaan menggerakan orang
lain;
b) Menggerakkan dengan sarana/upaya
seperti tersebut limitatif dalam KUHP;
c) Putusan kehendak pembuat meteriil
ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;
d) Pembuat materiil melakukan/mencoba
melkukan tindak pidana yang dianjurkan;
e) Pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan pasal
163 KUHP.
2. Pembantu/ Medeplichtige
Pembantu
adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran, informasi atau
kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana.
Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis;
a. Pembantuan pada saat kejahatan
dilakukan. Cara bagaimana pembantunya tidak disebutkan dalam KUHP. ini mirip
dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:
a) Pembantu perbuatannya hanya bersifat
membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
b) Pembantuan, pembantu hanya sengaja
memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama dan tidak
bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta,orang yang turut
serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerjasama dan mempunyai
tujuan sendiri;
c) Pembantuan dalam pelanggaran tidak
dipidana (pasal 60 KUHP), sedangkan dalam turut serta dalam pelanggaran tetap
dipidana;
d) Maksimum pidana pembantu adalah
maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta
dipidana sama.
b. Pembantuan sebelum kejahatan
dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau
keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaan
pada niat/kehendak, pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak
semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak
melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan oleh si penganjur.[10]
C.
Pertanggungjawaban Pembantu Dalam Penyertaan
Berbeda dengan Pertanggungjawaban pembuat yang semuanya
dipidana sama dengan pelaku, Akan tetapi, pembantu dipidana lebih ringan
daripada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana
yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan pengecualian :
a. Pembantu dipidana sama berat dengan
pembuat,yaitu pada kasus tindak pidana:
a) Membantu merampas kemerdekaan (Pasal
333 ayat (4)) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan;
b) Membantu menggelapkan uang/surat
oleh penjabat(Pasal 415);
c) Meniadakan surat-surat penting
(Pasal 417).
b. Pembantu dipidana lebih berat
daripada pembuat, yaitu tindak pidana:
a) Membantu menyembunyikan barang
barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3));
b) Dokter yang membantu menggugurkan
kandungan (Pasal 349).
Sedangkan dalam pidana tambahan bagi pembantu adalah sama
dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan Pertanggungjawaban pembantu adalah
berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.
D. Bentuk-Bentuk Penyertaan
Dalam bab V KUHP yang ditentukan mengenai
penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercatum dalam pasal 55 sampai dengan 60
yang pada garis besarnya berbentuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan
pembantu (56 dan 59), bentuk-bentuknya diperinci sebagai berikut:
1. Dua orang atu lebih
bersama-sama (berbarengan) melakukan tindak pidana,
2. Ada yang menyuruh
(dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidana,
3. Ada yang melakukan
dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana,
4. Ada yang
menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat tertentu untuk melakukan
tindak pidana.
5. Pengurus-pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang dipraanggakan
turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu.
6. Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk
melakukan suatu kejahatan.
Beberapa bentuk penyertaan dalam pengertian
luas tidak masuk dalam ketentuan bab V, misalnya mereka yang merencanakan
kejahatan seperti dalam pasal 104-108 jo.Pasal 110 ayat 2 ke-4, sesorang yang
menyembunyikan petindak (Pasal 221), pria dan wanita yang melakukan
persetubuhan diketahui dari hasil kejahatan (Pasal 480). Bentuk-bentuk
penyertaan tersebut adalah merupakan tindak pidana tersendiri.
Mengenai bentuk-bentuk dari penyertaan
apabila ditinjau dari sudut peserta akan ditemukan variasi sebagi berikut:
1. Penyertaan yang
satu dan lainnya sama-sama memenuhi unsur tindak pidana,
2. Penyertaan yang
(turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa tindakannya
merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya dan sebagainya (Manus
ministra).
3. Penyertaan
benar-banarsadar dan langsung turut serta untuk melkukan tindak pidana
(Medeplegen),
4. Penyertaan melkukan
tindak pidana karena adanya suatu keuntungan baginya atau ia dipermudah untuk
melakukannya,
5. Ia dipandang
sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran karena ia adalah pengurus dan
sebaginya.
6. Penyertaan hanyalah
sekedar membantu saja.
Perbuatan penyertaan pada penyertaan (Deelneming Aan
Deelnemingshandelingen), misalnya :
a. Membujuk untuk membujuk (Pasal 55 jo
55)
b. Membujuk untuk membantu (pasal 55
jo. 56)
c. Membantu untuk menganjurkan (Pasal
55 jo.55).
Contoh :
a) A memberi gunting kepada B yang
katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri
atau membunuh.
b) Pada waktu B akan memasuki rumah si
C dengan maksud mencuri, iya berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan
kunci rumah. A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B
berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong
B membuka kaca jendela sehinga B dapat masuk kerumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, A tidak dapat di pidana karena
untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur
sengaja.
Terdapat beberapa tindak pidana yang dalam menjalankannya
selalu terlibat lebih dari seorang. Dalam hal ini, ada yang oleh pasal yang
bersangkutan ditegaskan bahwa kedua orang atau lebih itu dapat
dikenai hukuman pidana, ada yang tidak ada penegasan tentang hal ini.
Contoh dari
golongan tindak pidana yang pertama adalah :
1.
Menyuap seorang
pemilih. Baik yang menyuap maupun yang disuap dihukum menurut pasal 149 ayat 1
dan 2 KUHP.
2.
Turut serta pada
suatu perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan atau pada suatu
perkumpulan yang terlarang oleh undang-undang. Selanjutnya para anggota semua
diancam dengan hukuman pasal 169 KUHP.
3.
Bersama-sama di
muka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang (pasal 170 KUHP).
4.
Perang tanding
atau duel (pasal 184 KUHP), dll.
Contoh dari golongan tindak pidana
yang kedua adalah :
1. Dengan
sengaja menyembunyikan yang bersalah atau dituntut di muka pengadilan pidana
tentang suatu kejahatan (pasal 221 KUHP). Kini irang yang disembunyikan dapat
dihukum juga apabila dapat dikatakan membujuk si pelaku untuk melakukan tindak
pidana itu.
2. Seorang
pedagang yang dalam keadaan pailit menguntungkan salah seorang dari berbagai
berpiutang dari pasal 397 nomor 3 KUHP. Kini, kreditur yang diuntungkan dapat
juga dihukum karena turut melakukan tindak pidana ini, dll.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Penyertaan (deelneming)
berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan
tindak pidana. Penyertaan
dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu pembuat dan pembantu.
Pembuat terdiri dari pelaku, yang menyuruh melakukan, yang
turut serta, dan penganjur. Sedangkan pembantu ada dua jenis yaitu pembantu
saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan dilakukan.
Pertanggungjawaban pembuat yaitu semuanya dipidana sama
dengan pelaku, akan tetapi, pembantu dipidana lebih ringan daripada pembuatnya,
yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57
ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup,
pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Bentuk-bentuk penyertaan secara rinci yaitu :
a. Dua orang atu lebih
bersama-sama melakukan tindak pidana,
b. Ada yang menyuruh
(dan ada yang disuruh) melakukan tindak pidana,
c. Ada yang melakukan
dan yang turut serta melakukan tindak pidana,
d. Ada yang
menggerakkan dan digerakkan melakukan tindak pidana.
e. Pengurus-pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang turut campur dalam
suatu pelanggaran tertentu.
f. Ada petindak dan ada pembantu untuk
melakukan suatu kejahatan.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan
lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Mustafa dan Ruben Achmad. 1989. Intisari Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia
Indonesia
Ali, Mahrus.
2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
Effendi,
Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indoensia. Bandung : Refika Aditama
Kholiq, Abdul.
2002. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Yogyakarta : Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Moeljatno. 2002.
Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrfindo
Persada
Prodjodikoro,
Wirjono. 2011. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika
Aditama
Remmelink, Ian.
2003. Hukum Pidana. Jakarta : Pustaka Utama
Soesilo. 2005.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia
[1] Wirjono
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika
Aditama, 2011), 117
[3] Mustafa
Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1989), 31-38
[4] Abdul
Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta : Fakultas Hukum
Universitas Indonesia , 2002), 222
[10] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrfindo Persada,2012), 205