ASAS-ASAS HUKUM
1.
Pengertian Asas Hukum.
Asas adalah
dasar, basis, pondasi, landasan. Sedangkan hukum adalah seperangkat aturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang isinya berupa larangan, perintah, maupun
dispensasi yang sifatnya memaksa, mengikat dan ada sanksi ketika terjadi
pelanggaran.
Jika
dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat terutama dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum. untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan diperlukan asas hukum, karena asas hukum ini memberikan
pengarahan terhadap perilaku manusia di dalam masyarakat.
Jadi yang
dimaksud dengan asas hukum adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi
latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).
Sebagaimana
dikatakan oleh Van Apeldoorn bahwa asas hukum adalah asas yang melandasi peraturan hukum positif yang khusus atau yang melandasi
pranata-pranata hukum tertentu, atau melandasi suatu bidang hukum tertentu.[1]
J. J. H.
Bruggink, menyatakan bahwa asas hukum adalah kaidah yang berpengaruh terhadap
kaidah perilaku, karena asas hukum memainkan peranan pada interprestasi
terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerapan kaidah hukum.
Sedangkan menurut E. Utrecht, asas hukum adalah dasar dari pada
peraturan-peraturan hukum, yang mengkualifikasikan beberapa peraturan hukum,
sehingga peraturan-peraturan hukum itu bersama-sama merupakan satu lembaga
hukum.[2]
Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan di dalam hukum (Equality
before the law), setiap orang harus diperlakukan sama, hal ini disebabkan :
ü Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum.
ü Asas hukum sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum.
2.
Macam-macam Asas Hukum.
Asas-asas Pokok dalam
Hukum Adat diantaranya :
a.
Asas Religio Magis (Magisch-Religieus)
Asas Religio Magis (Magisch-Religieus)
adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau
cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.
Kuntjaranigrat menerangkan bahwa alam
pikiran religiomagis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
Kepercayaan kepada makhluk-makhluk
halus, rokh-rokh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus
gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda.
Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang
meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa
luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luas biasa, binatang-binatang yang luar biasa,
benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif
itu dipergunakan sebagai “magische kracht” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib
untuk mencapai kemauan manusia atau menolak bahaya gaib.
Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti
dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam
bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam
pantangan.
Bushar Muhammmad tentang pengertian
religio-magis mengemukakan kata “participerend cosmisch” yang
mengandung pengertian komplek. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa
dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-tenaga gaib
(magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang
terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tubuhan besar dan kecil, benda-benda; dan
semua tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan.
Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup
jasmaniah dan rokhaniah, “participatie”, dan keseimbangan itulah yang
senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan.
Memulihkan keadaan keseimbangan itu berujud dalam beberapa upacara, pantangan
atau ritus (rites de passage).
b.
Asas Komun (Commun)
Asas Komun berarti mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas korum merupakan segi
atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil
atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam
pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih
mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada
kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak ke
belakang. Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang
menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak boleh dan tidak dapat
disia-siakan. Keputusan Desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan
apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, dengan khidmat.
Biasanya
dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat contant (tunai)
yaitu prestasi dan contra prestasi dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu
itu juga.
c.
Asas Contant (Tunai)
Asas contant atau tunai
mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan
simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai
seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu
adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak
bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai
seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri
sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan
sesudah perbuatan yang bersifat contan itu mempunyai arti logis satu sama lain.
Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah:
jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas tanah, adopsi dan
lain-lain.
d.
Asas Konkrit (Visual)
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia
kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam
perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.
Di dalam alam berpikir yang tertentu
senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan,
dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi ujud suatu
benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai obyek
yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).
Di samping itu, asas-asas hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat dibedakan ke dalam :
a.
Asas hukum yang menentukan politik.
b.
Asas hukum yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangan
(proses legislasi).
c.
Asas hukum yang menyangkut aspek-aspek formal/struktural/organisatoris dari
tata hukum nasional.
d.
Asas hukum yang menentukan ciri dan jiwa tata hukum nasional.
e.
Asas hukum yang menyangkut subtansi peraturan perundang-undangan.
Itulah inti
dari asas-asas yang akan mendasari terbentuknya suatu hukum, 5 asas pokok
itulah yang menjadi sari pati pembentukan hukum atau istilah lainnya yakni asas
universal.
Oleh karena
asas hukum yang bukan universal dipengaruhi oleh tempat dan waktu, maka asas
hukum pada suatu negara itu berbeda.
Secara rinci
asas hukum Nasional di Indonesia antara lain :
a.
Asas manfaat : segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat, bagi peningkatan kesejateraan
masyarakat dan bagi pengembangan pribadi warga negara.
b.
Asas usaha bersama dan kekeluargaan : bahwa usaha mencapai cita-cita dan aspirasi-aspirassi
bangsa harus merupakan usaha bersama dari bangsa dan seluruh rakyat yang
dilakukan secara gotong-royong dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.
c.
Asas demokrasi : demokrasi berdasarkan pancasila yang meliputi
bidang-bidang politik, sosial dan ekonomi serta yang dalam penyelesaian
masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempu jalan permusyawaratan
untuk mencapai mufakat.
d.
Asas adil dan merata : bahwa hasil-hasil materil dan spiritual yang dicapai
dalam pembangunan harus dapat dinikmati merata oleh seluruh bangsa dan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang layak
diperlukan bagi kemanusiaan dan sesuai dengan nilai darma baktinya yang
diberikannya kepada bangsa dan negara.
e.
Asas perikehidupan dalam keseimbangan : keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan, yaitu antara kepentingan duniawi dan akhirat, antara
kepentingan materiil dan spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga, antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara kepentingan nasional dan
internasional.
f.
Asas kesadaran hukum : setiap warga negara Indonesia selalu sadar dan taat
pada hukum, dan mewajibkan negara menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
g.
Asas kepercayaan pada diri sendiri : yaitu perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan
ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan. Dalam pengertian kesatuan
politik tercakup pengertian bahwa seluruh kepulauan nusantara merupakan satu
kesatuan hukum, hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan
nasional.
Demikianlah
asas-asas hukum nasional yang dirumuskan simposium dan yang telah disebutkan
sebagai asas-asas hukum yang ditemukan dalam pancasila dan UUD 1945.
Satjipto
Rahardjo menyatakan, asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena ia
merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum
juga merupakan alasan bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan
habis kekuasaannya karena telah melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan
akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan hukum selanjutnya. [3]
Asas hukum
itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etik. Karenanya asas hukum
merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum positif dengan cita-cita
sosial dan pandangan etik masyarakat. Melalui asas hukum ini
peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian-bagian dari suatu
tatanan etik. Karena adanya ikatan internal antara asas-asas hukum, maka hukum
merupakan suatu sistem, yaitu sistem hukum.
Asas-asas
hukum sesungguhnya tidak hanya yang kami sebutkan di atas tetapi ada lebih
banyak lagi, di bawah ini kami akan menyebutkan asas-asas hukum yang ada dalam
berbagai bidang kehidupan.
Berikut ini
terdapat beberapa asas hukum yang menjadi rujukan dalam proses pembentukan
hukum yang kami kutip dalam buku pengantar ilmu hukum, antara lain :
1.
Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali ( tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu
daripada perbuatan itu ).
2.
Opinio necessitatis (keyakinan atas
sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum
kebiasaan ).
3.
Pacta sunt servanda (setiap
perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik ).
Asas-asas Hukum Islam
Asas-asas umum
hukum Islam adalah asas-asas hukuk yang meliputi semua bidang dan lapangan
hukum Islam, yaitu sebagai berikut:[4]
1.
Asas Keadilan
Asas keadilan adalah asas yang penting dan yang mencakup
semua asas dalam bidang hukum Islam. Akibat dari pentingnya asas yang dimaksud,
sehingga Allah SWT mengungkapkan di dalam Al-Qur’an lebih dari seribu kali,
terbanyak disebut setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan.
Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah
di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap
semua manusia, tanpa memandang stratifikasi sosial, yaitu kedudukan, asal –
usul, keyakinan yang dianut oleh pencari keadilan. Bedasarkan semua itu, dapat
disimpulkan bahwa keadilan adalah asas, yang mendasari proses dan sasaran hukum
Islam.
2.
Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah asas yang menyatakan bahwa
tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan
peraturan yang ada dan berlaku pada perbuatan itu.
3.
Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang menyertai asas keadilan
dan kepastian hukum yang telah disebutkan di atas. Dalam melaksanakan asas
keadilan dan kepastian hukum, seharusnya dipertimbangkan asas kemanfaatannya,
baik kepada yang bersangkutan sendiri maupun kepada kepentingan masyarakat.
Dalam menerapkan ancaman hukuman mati kepada seseorang yang telah melakukan
pembunuhan misalnya, dapat dipertimbangan kemanfaatan penjatuhan hukuman kepada
terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati yang akan dijatuhkan lebih
bermanfaat kepada kepentingan masyarakat, maka hukuman itulah yang dijatuhkan.
Namun, bila tidak menjatuhkan hukuman mati karena pembunuhan dimaksud secara
tidak sengaja atau serupa dengan tidak sengaja, maka dapat diganti dengan
hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh.
Asas-asas Hukum Pidana Islam
Asas-asas ukum pidana Islam adalah asas-asas hukum yang
mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam di antaranya:
1.
Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak
ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada Undang-Undang yang
mengaturnya.
2.
Asas Larangan Memindahkan Kesalahan
Kepada Orang lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap
perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan
mendapatkan imbalan yang setimpal.
3.
Asas Praduga Tak Bersalah
Yaitu asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh
melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum Hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
Asas-asas Hukum
Perdata Islam
Asas-asas hukum perdata Islam adalah asas-asas hukum yang
mendasari pelaksanaan hukum perdata Islam, di antaranya:
1.
Asas Kekeluargaan
Yaitu asas hubungan perdata yang disandarkan kepada
hormat-menghormati, kasih-mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai
kebaikan.
2.
Asas Kebolean atau Mubbah
Yaitu asas yang membolehkan melakukan semua kegiatan
hubungan perdata sepanjang kegiatan hubungan itu tidak ada larangan, baik di
dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits Nabi saw.
3.
Asas Kebajikan
Asas yang mengandung pengertian bahwa setiap hubungan
keperdataan seharusnya mendatangkan kebajikan kepada kedua belah pihak dan
pihak lainnya dalam masyarakat.
4.
Asas Kemaslahatan Hidup
Yaitu asas yang mendasari segala pekerjaan yang
mendatangkan kebaikan, berguna dan bermanfaat pada kehidupan pribadi manusia
dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Asas-asas Hukum Berkontrak
Di dalam
suatu teori hukum kontrak telah disebutkan asas-asas yang berlaku dalam
berkontrak, antara lain :[5]
1.
Asas
Kebebasan Berkontrak (freedom of contract).
Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :
a.
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c.
Menentukan isis perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya, serta
d.
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan.
Latar
belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen
dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.[6]
Menurut
paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”.
Paham
individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk
menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak
yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat sperti
yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
Pada
akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme
mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini
kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah
lebih banyak mendapat perlindungan.
Oleh
karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi
arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi
kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi.
Pemerintah
sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah
maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu,
melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking)
hukum kontrak/perjanjian.
2.
Asas
Konsensualisme (concensualism)
Asas
konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil
adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum
adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta
otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus
verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3.
Asas
Kepastian Hukum (pacta sunt servanda).
Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam
hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum
sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4.
Asas
Itikad Baik (good faith)
Asas
itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan
sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua,
penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan
penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut
ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest.
Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman
setelah Perang Dunia I.[7]
Kasus
Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha
Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan
memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan
pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi.
Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual
bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila
harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad
baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan
yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh
HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari
suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak
berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas
dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini denga memformulasikan:
mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah
diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan
perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.
Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh
para pihak Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual
harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang
warganegara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warganegara
Belanda pada tahun 1924. dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi
karena sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah
sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat
dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar
devaluasi tersebut.
Namun, Pasal 1757 KUHPer menyatakan “Jika saat pelunasan
terjadi suatu kenakan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai
berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan
dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge Raad menimbang bahwa tidak
nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk
mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang
Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu.
Menurut
Hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad
baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat
menambah.Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat
pada asa itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat
terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang.
Apabila
orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 golden,
maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang diatas,
walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Berbeda
dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 dimana kondisi negara pada saat itu
mengalami krisis moneter dan ekonomi.
Pihak
perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa
diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku
bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter,
suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak
nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada
posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada
masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai
dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik.
- Asas Kepribadian (personality)
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh
para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung
suatu syarat semacam itu.”
Pasal
ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317
KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang
yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer
mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang
lingkup yang luas.
Asas-asas Hukum Perikatan
Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam
Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985
telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. [8]
Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Asas
Kepercayaan.
Asas
kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka
dibelakang hari.
2.
Asas
Persamaan Hukum.
Asas
persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak
boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu
berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3.
Asas
Keseimbangan.
Asas
keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur,
namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan
itikad baik.
4.
Asas
Kepastian Hukum.
Perjanjian
sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari
kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
5.
Asas
Moralitas.
Asas
moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak
debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan
perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum
untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah
didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
6.
Asas
Kepatutan.
Asas
kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya.
7.
Asas
Kebiasaan.
Asas
ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.
8.
Asas
Perlindungan.
Asas
perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang
menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu
kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para
pihak.
Asas-Asas Hukum Pidana Umum
Dalam hal ini asas-asas hukum pidana
menurut tempat yaitu :
1.
Asas Teritorial.
Asas ini diatur juga dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di
Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas
territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang
berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana
di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara
atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional
yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak
mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas territorial yang pada
saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini
adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara
harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang
bersangkutan berada.
Perluasan
dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Ketentuan ini memperluas berlakunya
pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat
terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang
berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk
wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi
suatu perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran
pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat
pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Previlege).
·
Kepala Negara asing dan anggota
keluarganya.
·
Pejabat-pejabat perwakilan asing
dan keluarganya.
·
Pejabat-pejabat pemerintahan
Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui
Negara-negara lain atau menuju Negara lain.
·
Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.
·
Pejabat-pejabat badan
Internasional.
·
Kapal-kapal perang dan pesawat
udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.
2.
Asas Personal (nasional aktif).
Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin
digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah
Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara
asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak pidana dan
tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka berarti
bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan
perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala
Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP
menyatakan :
1)
Ketetentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia
melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku
Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan
yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang
sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan
itu dilakukan diancam dengan pidana.
2)
Penuntutan perkara sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara
sesudah melakukan perbuatan”.
Sekalipun
rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan
bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga
seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP
memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas
nasional pasif) karena :
Ketentuan
pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah
Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas
personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga
Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan
pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang
berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara
Indonesia (naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana
yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana
merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena
mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting
adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan
diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan,
bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal
6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi
sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat
(1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena
itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap
maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing tadi.
3.
Asas Perlindungan (nasional
pasif)
Sekalipun
asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang
memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana
yang terjadi di luar wilayah Negara
Pasal 4 KUHP
(seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976).
“Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan
bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :
1)
Salah satu kejahatan berdasarkan
pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
2)
Suatu kejahatan mengenai mata
uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai
materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
3)
Pemalsuan surat hutang atau
sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia,
termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti
surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau
dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;
4)
Salah satu kejahatan yang disebut
dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal
447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf
j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan
o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi
kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum
pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga
negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam
pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan
nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana
Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan
perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
1)
Kejahatan terhadap keamanan
Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia
dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
2)
Kejahatan mengenai pemalsuan mata
uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan
oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
3)
Kejahatan mengenai pemalsuan
surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh
Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
4)
Kejahatan mengenai pembajakan
kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4)
4.
Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi
oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi
kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa
setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum
internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan
internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP
(mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut
dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas
Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan
dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2
KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga
mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal
laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat
menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin
juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan
Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan
nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas,
pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara
asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal).
Pasal 7 KUHP.
“Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia
melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII
Buku Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan
yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi
pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang terdapat
dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal 7
KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal
16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi : “setiap orang di luar wilayah
Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu
Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang
tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun
dalam ordonansi perkapalan”.
Dengan telah
diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang
dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk
memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi
kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari
kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya
pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum-hukum internasional.Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian
yang diakui meliputi :
1)
Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai
hak eksteritorial. Hukum
nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka
2)
Duta besar Negara asing beserta
keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.
3)
Anak buah kapal perang asing yang
berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum
internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainyaTentara
Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu
DAFTAR PUSTAKA
Salim HS.
2004. Hukum Kontrak:
Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
Tim
Naskah Akademis BPHN, “Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,” (Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985.
Tutik, Titik
Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prstasi Pustaka.
Zainuddin Ali.
2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Last post of
blogger slideshow-gadget google-http://blognyayuwwdi.blogspot.com, diakses 17
September 2013 pukul 13.15 WIB.
[4]. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2007), h. 2
[5].
Salim, Hukum Kontrak: Teori & Teknik
Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), h. 80
[6].Last
post of blogger slideshow-gadget google-http://blognyayuwwdi.blogspot.com,
diakses 17 September 2013 pukul 13.15 WIB.
[7] . Last post
of blogger slideshow-gadget google-http://blognyayuwwdi.blogspot.com, diakses
17 September 2013 pukul 13.15 WIB.
[8] . Tim Naskah Akademis BPHN, “Naskah
Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,” (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
1985.
5 komentar:
sumpah bermanfaat banget :)
thanks
sumpah bermanfaat banget :)
thanks
maaf, jadi yang bener asas komun atau asas korum ya ??
Setauku asas komun deh, ga ada asas korum
terima kasih bermanfaat
Posting Komentar